Pak Kalim, Karet, dan Pandemi

ilustrasi/foto: starbanjar.com

Jari jempol dan telunjuk Kalim kompak padu menarik sebatang rokok dari bungkusnya. Lengan kanannya lantas melipat ke atas. Membawa si rokok kretek hinggap menempel di sela bibir. Dia bakar ujungnya. Asap ditarik dalam-dalam. Sebagian lalu disembur. 

Lelaki 61 tahun itu tampaknya bersiap menemaniku di warung serba ada milik putra ke enamnya. 

Malam itu (25/9/2021) saya memang sengaja mampir ke warung itu mencari senter untuk dibeli. Soalnya, lampu utama sepeda motor yang kutunggangi tak mampu menembus pekat malam. 

Saking sudah redup, sudah tiga pengendara sepeda motor di belakangku mengurangi kecepatan lalu memberi penerangan agar laju kuda besiku bisa kupacu. (Adab di jalan yang saya kira hanya dilakoni manusia-manusia baik, manusia peduli sesama, manusia sosial, manusia beretika, manusia yang percaya kebaikan Allah) 

"Mati lampu?" sapa mereka ketika menyusul sejajar di sisi kanan. 

Setelah kuberi tahu lampu hanya redup, mereka lalu pamit tancap gas. "Terima kasih," kataku setengah teriak. 

Maka ketika tiba di kawasan ramai penduduk saya putuskan untuk beli senter saja sebagai lampu penerang jalan. Kalau tidak, saya tak tahu bisa tiba pukul berapa di rumah karena laju sepeda motor kalah cepat sama lari sepeda. Apalagi kondisi jalan belum sepenuhnya ramah. Ada lobang di sana sini. 

Setelah tak menemukan senter di dua warung, saya lalu melihat warung anaknya Pak Kalim ini. Saya sudah sempat melewatinya. Beruntung. Di sini ada jual senter. Senter tangan dan senter kepala. Saya minta senter kepala. 

Karena baru buka bungkus alias masih baru, cahaya lampu senter belum begitu terang. Anak Pak Kalim menawarkan apa mau menunggu sembari senternya dicas. 

"Boleh. Gak apa saya tunggu saja," kata saya setelah ia juga sempat menawarkan senter serupa yang lebih terang tapi bekas pakai beberapa hari. 

"Pulang ke Bengkulu?" tanya Pak Kalim setelah kebul asap rokok pertama dia hembuskan ke udara malam berbalut gerimis. 

Sebelumnya, ia memberikan kursi kepada saya agar tidak berdiri di dalam warung menunggu senter dicas. 

"Iya, pak," sahutku. Tentu sudah bahasa umum jika Bengkulu yang dimaksud itu adalah ke Kota Bengkulu.  Jangan dijelaskan apalagi didebatkan. Kecuali basa-basi khas orang Nusantara ini terjadi di luar Bengkulu.  Misalnya percakapan itu berlangsung di Lampung, Jambi, Padang dst. 

"Ini dusun apa, pak? " tanya saya. Saya nggak pura-pura. Saya memang setiap minggu melewati desa ini. Tapi nama desanya saya nggak ingat. 

Setelah dia sebut Desa Curup, saya tanya apakah desa ini desa terluas. Sebab sudah sering kali saya berhenti, nama desa atau titik dimana saya bertanya dijawab Dusun Curup juga. 

"Dusun ini panjang. Sekitar tiga kilo," jelas Pak Kalim menjawab keheranan saya. Desa ini, kata Pak Kalim, adalah salah satu desa tua atau bukan hasil pemekaran dari desa lain atau desa induk. 

Nama Curup itu versi Pak Kalim artinya air terjun atau tempat yang ada air terjunnya.  "Iya. Di sini saja ada lima air terjunnya," sebut Pak Kalim. "Airnya dari aliran sungai Air Besi. Makanya ada Kecamatan Air Besi. Desa kami ini masuk Kecamatan Air Besi," paparnya. 

Di desa ini mayoritas bertani kebun. Utamanya karet. Sebagian sawit. Tak ada petani sawah. "Sawah nggak ada di sini. Kalau nggak karet ya sawit itu lah," ujarnya. 

Pak Kalim bercerita, selama dua tahun terakhir terjadi penurunan pendapatan. Selain harga getah karet yang anjlok sebagai konsekuensi pembatasan mobilitas akibat pandemi Covid-19, produksi karet juga merosot. 

Biasanya sebatang karet bisa menghasilkan 0,5 kg dalam seminggu atau dua kiloan dalam satu bulan. Pak Kalim yang mengaku biasa panen 20 kg dalam sebulan kini cuma di 12-14 kg. Padahal harga sudah normal Rp 9 ribu/kg. "Kalau enam bulan di awal Covid, harganya malah 2500 per kilo," sebutnya. 

Soal penurunan produksi getah karet, Pak Kalim mengaku tak mengerti sebab musababnya. Curah hujan dan panas, kata dia, masih seperti biasanya. Hanya saja kondisi daun pohon karet disebutnya tak serindang biasanya. Banyak daun yang gugur. 

Karena kondisi tersebut, Pak Kalim berencana mengganti komoditi karet di lahannya dengan sawit saja. Apalagi harga sawit sedang seksi, Rp 2000 per kg. 

"Kali banyak ya, pak?!" seru saya disambut gelak sumringahnya. "Lah, iya. Kalau karet begini terus, gak tahan kita," imbuhnya. 


Komentar