P E M I L U sebagai salah satu instrumen berdemokrasi di Indonesia terus mengalami dinamikanya seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. Sejak 1955 hingga 2019, Pemilu di Indonesia telah melalui sejumlah pergantian, mulai sistem, penyelenggara, dan tahapan demi memenuhi tuntutan politik zaman dan semangat demokratisasi.
Pada 1955
atau saat Indonesia baru berumur 10 tahun, Pemilu pertama ini diselenggarakan
dengan sistem proporsional, ada kombinasi sistem distrik dan sistem perwakilan
berimbang. Sistem proporsional ini dianut hingga Pemilu 1999 atau di awal era
Reformasi. Pada Pemilu 2024, wajah Pemilu Indonesia berubah. Dengan sistem
proporsional terbuka, selain mengetahui siapa calon wakilnya, rakyat juga ikut
menentukan siapa presiden dan wakil presiden RI untuk kali pertama.
Apakah pilihannya
sistem terbuka atau tertutup, salah satu prinsip Demokrasi yang tidak boleh
diabaikan dan sejatinya adalah marwah Demokrasi itu sendiri adalah kedaulatan
rakyat. Esensi keberdaulatan itu yang tidak boleh dikaburkan dengan
pilihan-pilihan atau mekanisme bagaimana kedaulatan itu kemudian dimandatkan.
Karena Pemilu sesungguhnya adalah ruang, kesempatan, dus momentum untuk rakyat
menyatakan daulatnya.
Karena itu,
partisipasi rakyat sebagai warga negara dalam Pemilu tidak saja perlu tetapi
juga penting untuk bersikap terhadap para penyelengara negara yang dipilih lewat
Pemilu sebelumnya, Kembali dipilih atau tidak. Tidak berarti memberi ruang dan
kesempatan kepada orang-orang baru untuk bekerja bagi Rakyat.
Tetapi boleh
lah kita menguraikan sedikit soal partisipasi itu. Sebagai salah satu syarat
legitimasi dan parameter kualitas Demokrasi, partisipasi yang ideal adalah
partisipasi yang tumbuh karena ada kesadaran politik rakyat sebagai warga
negara. Bukan partisipasi yang didorong oleh imbalan materi atau apa yang
disebut sebagai semangat transaksional.
Karena itulah
kualitas Demokrasi atau Pemilu itu sendiri tidak bisa semata-mata ditakar
dengan tingkat partisipasinya. Tingginya persentasi pemilih yang memberikan
suara pada hari H Pemilu bukan ukuran apalagi jaminan mutu berkualitas tidaknya
Pemilu. Kualitas itu mesti ditakar lagi dengan menguji bagaimana proses partisipasi
itu terjadi. Kualitas Pemilu juga mesti diukur dengan factor lain seperti
tingkat pelanggaran dan kecurangan Pemilu, dan banyak tidaknya laporan dugaan
money politics saat itu.
Kembali ke
pokok. Penulis hendak menyatakan Pemilu adalah saat dimana pemilik kedaulatan
yakni rakyat, tiap-tiap warga negara yang telah memiliki hak suara, untuk
menegaskan sikap, menunjukkan rasa, memberikan dan atau harus menarik mandat. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bahkan dengan terang mendefinisikan Pemilu
sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk memilih Anggota DPR, Anggota DPD,
Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih Anggota DPRD, yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Pertama,
kepada anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang sudah
diberi kesempatan selama lima tahun, sepuluh tahun atau lebih. Jika kinerjanya
baik, bagus, amanah, maka rakyat sah-sah saja bersikap kembali memberi mandat,
mencoblosnya lagi di bilik suara.
Tapi yang
dianggap gagal, dipersepsikan tak bagus, dinilai tak amanah, pantas lah juga diberi
sanksi. Abaikan kalau ia masih merengek suara rakyat! Jangan dipilih lagi!
Jangan dicoblos gambar dan atau nomor urutnya lagi saat di TPS.
Serupa
dengan itu juga kepada presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil
gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota. Jika kinerjanya
baik, sesuai janji yang dirumuskan menjadi visi, misi, program kerja selama
memimpin, maka rakyat silakan kembali pilih. Pun sebaliknya, jika banyak janji
tak dipenuhi, hukum di bilik suara: abaikan!
Dan jangan
lupa, ada peran dan tanggung jawab partai politik di sana. Partai yang tak
pernah mengevaluasi kinerja kadernya saat bekerja di parlemen bahkan di
pemerintahan juga mesti diberi ganjaran. Abaikan! Sebaliknya, jika partai
konsisten mengawal aspirasi konstituen melalui karya dan kinerja kadernya saat
menjadi penyelenggara urusan negara, maka kasih reward. Pilih lagi. Coblos
lagi!
Kampanye
Pemilu di
Indonesia dilaksanakan melalui tahapan-tahapan. Salah satu tahapan Pemilu itu
adalah masa kampanye, yakni waktu yang diberikan kepada calon peserta Pemilu
untuk meyakinkan calon pemilih agar memilihnya saat pelaksanaan pemungutan
suara di bilik-bilik suara. Kampanye juga mestinya menjadi sarana bagi mereka
yang sedang memegang mandat rakyat untuk melaporkan kinerjanya kepada
konstiuennya. Bagi yang akan meminta mandat, kampanye adalah ruang bagi
penyampaikan visi, misinya mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau sebagai
calon penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan
dan urusan kenegaraan.
Karena itu
kegagalan dalam memaknai tahapan kampanye bagi para bakal calon atau calon
wakil rakyat itu bisa ditandai dengan minimnya sosialisasi visi dan misi,
kurangnya interaksi dengan calon pemilih. Atau menyapa calon pemilih hanya
dengan poster, baliho, dan alat peraga kampanye lainnya. Miskin ide, gagasan, diskursus,
dan keterlibatan dalam mengawal dan memperjuangakan urusan rakyat.
Begitulah
kiranya Pemilu menjadi satu instrumen bagi rakyat untuk menegaskan kedaulatannya
kembali. Melampiaskan kekecewaan kepada penguasa yang telah dianggap gagal
dengan menarik suara/dukungan dan mengalihkan ke yang lain. Demokrasi memang
bukan sistem yang ideal atau terbaik. Namun Demokrasi setidaknya memberi
kepastian bahwa tak ada kekuasaan yang abadi. Tak boleh ada penguasa yang bisa
terus menerus tanpa batas menguasai dan mengontrol nasib rakyat tanpa koreksi.
----
Artikel/Essay ini telah terbit di media online suara sahabat.com: https://suarasahabat.com/pemilu-waktunya-rakyat-menjadi-penentu/
Komentar
Posting Komentar