Menyambung Asa Alwi di Tik Jeniak

Pondok Pak Alwi/koleksi pribadi


GERTAK mengancam seekor anjing kampung jantan menyambut saat langkah kami mendekat ke sebuah pondok di tengah hamparan kebun sawit siang itu. Makin dekat, gertaknya makin kuat sebelum perlahan diam setelah dihardik tuannya. 

Begitulah awal pertemuan saya dengan Bapak Alwi. Di teras pondok kayu, lelaki 65 tahun itu sedang melepas lelah. Baju lusuhnya basah oleh bulir-bulir peluh. Sebatang filter dan secangkir kopi menemaninya saat kami menyapa. Saya jabat tangannya sembari menyebutkan nama. 

"Ini orang yang saya maksud. Saya sudah cerita dan sampaikan pesan Pak Alwi. Mudah-mudahan niat bapak bisa dibantu," Kak Ujang yang menemani saya segera membuka percakapan.

Kak Ujang memang sudah cerita. Bukan soal sosok Pak Alwi. Tapi niat Pak Alwi yang hendak mewakafkan setengah hektar lahan di kebunnya untuk dijadikan lokasi pesantren atau madrasah. Selain itu tidak!

Perjumpaan Kak Ujang dan Pak Alwi juga bukan terencana. Hanya takdir belaka. Bermula dari kegiatannya mencari kayu bakar. Entah bagaimana ceritanya, beberapa hari sebelumnya, Kak Ujang dan dua orang kawannya, mengambil kayu bakar di sekitar kebun Pak Alwi. Kayu bakar itu untuk dijual lagi ke pengusaha kopi bubuk. Yang mungkin kebetulan adalah, seorang teman Kak Ujang bernama Maja, masih ada hubungan kerabat dengan Pak Alwi. Maja sendiri tetangga depan rumah Kak Ujang. Saat kami berdua sedang menapaki jalan ke kebun Pak Alwi, Maja kebetulan menyusul. Ia hendak mencari rumput buat pakan ternak kambingnya.

"Iya, kalau memang ada yang mau bangun pesantren atau madrasah, saya wakafkan setengah hektar. Bukan seperempat hektar," ulas Pak Alwi ke kami. Ia mengoreksi setelah kuulangi pesan Kak Ujang.

Pak Alwi cerita, dua-tiga tahun yang lalu, sebenarnya niat wakaf lahan sudah ia tawarkan bagi lokasi pembangunan kantor KUA. Bahkan lahan yang hendak ia serahkan sudah sempat diukur. "Setelah diukur, tak ada lagi kabar," kenangnya.

Pak Alwi juga cerita, ada pihak yang mau bikin madrasah. Namun, hingga kami datang menjelang petang itu, Pak Alwi tak kunjung mendapatkan kepastian. Bahkan orang yang dia beri mandat itu masih terbilang kerabat dekatnya. 

Ia lalu menyimpulkan, rencana orang yang tak secara detail dijelaskan itu hanya wacana. Ia berani memastikan tak bakal ada apa-apa jika kemudian wakaf berpindah ke pihak lain.

"Nah kalau memang dari pihak yang Anda maksud benar-benar mau, saya harap bisa segera dilaksanakan. Lebih cepat lebih baik," katanya antusias.

Saya menangkap harapan Pak Alwi memang tidak main-main. Dia sangat sungguh-sungguh dan amat serius. Apalagi niat itu sudah tuntas dia bicarakan dengan istri dan anak-anaknya. Semua mendukung. "Lahan ini bukan warisan. Ini saya beli sendiri tahun 1977. Saya bayar dengan mencicil selama tiga tahun," imbuhnya. 

Setelah kurang satu jam berbincang, saya lalu mencoba menghubungi pihak yang saya maksud berminat menyambut niat baiknya. Memang, sebelum menemui Pak Alwi, saya sudah mengkonfirmasi pesan Ujang ke sahabat saya yang menjadi pengurus sekaligus aktivis di Persatuan Tarbiyah Islamiah atau PERTI. Sejatinya, ia ketua Pengurus Cabang PERTI Rejang Lebong, namun fisiknya lebih banyak di Ogan Komering Ilir (OKI). Ia pengajar di situ, di kampus Universitas Nurul Huda. Beliau Dedy Mardiansyah.

Gayung bersambut. Saya terhubung lewat video call. Saya laporkan, saya sudah di lokasi Pak Alwi. Percakapan berikutnya saya biarkan mereka langsung bersua wajah. Setidaknya bisa saling sapa dan kenal muka. Dan kebetulan sekali, Sahabat Dedy sedang bersiap mengikuti rapat dengan pengurus PERTI Bengkulu.

Singkat kata, apa yang saya sampaikan ke Pak Awli juga dipertegas oleh Dedy. Pada pokoknya, niat baik Pak Alwi kami sambut dengan suka cita. Selanjutnya menunggu tanggapan petinggi PERTI. "Saya hanya menjembatani. Siapa tahu jodoh," kata saya ke Pak Alwi.

Kolam di belakang pondok Pak Alwi/koleksi pribadi


**

Kebun sawit Pak Alwi luasnya sekitar 5 hektar. Dulunya, ini adalah lahan sawah yang tak diurus sehingga dipenuhi semak belukar. Lalu, secara bertahap ditanami sawit. Pak Alwi menyebutkan tak kurang 900 pohon sawit dia tanam. Bibit sawit ia bawa dari sebuah perusahaan perkebunan di wilayah Bengkulu Utara dimana ia sempat menjadi karyawannya saat itu.

Selain sawit, Pak Alwi juga punya tanaman kopi. Tapi kopinya tak banyak. Sekitar setengah hektaran Siang itu, saya sempatkan sebentar melihat area di sekitar pondok. Di belakang, ada kolam dengan ikan nila dan mas. Kolamnya lumayan lebar. Bahkan seperti telaga. Kolam ini masih bisa dilebarkan.

"Dulu ikannya banyak sekali. Tapi karena pondok tidak ditunggu (maksudnya: hanya didatangi siang hari, namun ditinggal malam hari), kolam sering diganggu. Ikannya dicuri. Malah ada yang kasih putas di aliran masuk air. Itu makanya ikan di kolam hanya buat lauk. Atau dipanen sekedar cukup buat beli pakan ikan," kata Pak Alwi sembari menebar dedak. 

Pak Awli bilang, ada dua kolam lain dengan ukuran hampir sama di bagian hulu air. Kolam-kolam itu juga letaknya di tengah-tengah tanaman sawit. Kolam tak pernah kering pertanda betapa melimpah air di sini. "Ini yang disebut tik jeniak itu," cetus Alwi.

Ya, kebun Pak Awli ini ada di wilayah Desa Tik Jeniak, Kecamatan Lebong Selatan, Lebong. Desa ini merupakan pemekaran dari desa induk, Turan Lalang yang telah naik status menjadi kelurahan. Kata Tik Jeniak berasal dari bahasa Rejang. Tik artinya air dan Jeniak artinya jernih. Tik Jeniak artinya air yang jernih.

Pak Alwi sendiri bukan warga Desa Tik Jeniak. Ia tinggal di Desa Magelang, Kecamatan Lebong Sakti. Itu sebabnya, tak ada orang yang menjaga kebun di waktu malam. Pak Alwi sendiri biasa datang atau tiba di lokasi sekitar pukul 09.00 pagi. Ia beranjak pulang pada petang atau sekitar pukul 17.00. Sebuah sepeda motor matic menjadi kendaraannya.

Mencapai kebun Pak Alwi terbilang mudah. Letaknya hanya sekitar satu kilometer dari jalan raya. Akses jalan ke kebunnya juga sudah nyaris diaspal semua. Hanya puluhan meter saja yang masih berupa tanah berbatu. Jadi, kendaraan roda empat pun bisa masuk.

Pak Alwi berharap, jika nanti di lahannya jadi dibangun sebuah fasilitas pendidikan, maka ia minta juga sekalian dibangun jalan yang baru di depan pondoknya sebagai pengganti jalan yang kini ada di tengah areal lahan kebunnya.

"Saya dulu sudah hibahkan lahan untuk pembangunan jalan. Itu lah jalan setapak yang keliru kalian lalui tadi saat menuju kemari. Jalan itu sebenarnya masih dalam areal kebun saya. Saya kasih buat jalan umum untuk warga yang keluar masuk kebun di sekitar sini," jelas Alwi.

Bagi Alwi, jika ada pesantren atau madrasah di sana maka lambat laun di lokasi itu juga akan bertumbuh pemukiman penduduk. Dengan sendirinya akan mendongkrak nilai ekonomis lahan. Ia sendiri merasakan melonjaknya harga kebun di sekitar situ setelah jalan aspal dibangun.

"Kalau bisa cepat direalisasikan. Saya juga berharap masih bisa melihatnya sendiri," kata Alwi.


Komentar