Nasib Sekolah Swasta

'Minim Fasilitas, Bertahan Karena Pengabdian'

Pemerintah memang terus menaikkan anggaran pendidikan. Tak cuma pemerintah pusat lewat APBN, tapi juga pemerintah daerah dalam APBD. Namun faktanya belum semua sarana-prasarana penunjang pendidikan terpenuhi secara layak. Kondisi itu, misalnya, tampak pada sekolah swasta atau sekolah yang tak berlabel negeri. MTs Islamiyah Talang Leak, Kecamatan Bingin Kuning, adalah buktinya.

JAYA ERIYANTO, BINGIN KUNING--Suasana hening menyambut saya siang itu. Maklum, siswa kelas III masih mengikuti ujian nasional. Panitia UN menyambut kedatangan seraya menelisik asal usul dan maksud kedatangan. Begitu tahu tamunya wartawan, seorang guru dengan antusias menunjukkan salah satu gedung. "Tolong diekspos mas. Ini sudah lama rusak, belum juga direhab-rehab," pintanya.

Bangunan yang dimaksud adalah ruang kelas yang kini disulap jadi gudang. Kondisinya memang memprihatinkan. Bahan bangunan yang didominasi kayu sudah berlubang di mana-mana. Atap plafon juga jebol di berbagai sudut. "Dulu ini ruang dua kelas, yakni kelas 1 dan 2. Karena belum sekalipun direhab, kini jadi gudang. Bangunan ini sudah 15 tahun rusak," kata Zainal BA, sang kepsek.

MTs Islamiyah kini cuma punya tiga bangunan. Dua bangunan untuk ruang belajar, yakni kelas I, II dan III. Satu bangunan lagi dipakai sebagai ruang guru, kepsek, dan perpustakaan. "Sekolah kami tidak punya ruang perpustakaan khusus, laboratorium, ruang guru. Jadi, semua digabung di sini," ujar Zainal yang ditemui di ruang serba guna itu.

Zainal yang juga salah seorang pendiri sekolah, mengatakan, setelah belasan tahun diajukan, tahun lalu usulan rehab sekolah disetujui. Tapi entah mengapa, setelah membentuk panitia dan paparan di Kanwil Kemenag, rencana rehab malah tidak jadi. "Saya bingung dan merasa tidak enak dengan rekan-rekan dan wali murid. Masa sudah bentuk panitia, tiba-tiba batal," sesalnya.

Tak cuma soal ruangan yang minim. Untuk proses belajar mengajar, sekolah yang berdiri sejak 1987 itu pun tak didukung tenaga pengajar atau guru yang memadai. Dari 20-an pegawai di sana, 15 orang adalah guru honor, seorang PNS. Bahkan dua staf TU ikut mengajar. "Untuk mata pelajaran yang di-UN-kan, kami cuma punya guru Bahasa Inggris," sebut Zainal didampingi dua staf TU Indra Gunawan dan Robi Antoni.

Dengan jumlah murid 81 orang, sekolah ini masih bisa bertahan mengandalkan dana BOS dan pendapatan lain yang tak seberapa jumlahnya. Belasan tenaga honorer masih bertahan karena panggilan pengabdian. "Mayoritas adalah alumni dan penduduk di sini. Mereka mau tetap di sini karena tak rela sekolah ini tutup," kata Zainal.

Indra yang sudah mengabdi 15 tahun mengaku mengandalkan usaha dagang istri dan sawah untuk bisa menghidupi keluarga kecilnya. "Kalau mau mengandalkan honor, Rp 100 ribu sebulan, mana cukup. Saya punya anak tiga. Yang sulung malah sudah sekolah. Saya tak ingin sekolah ini terpuruk apalagi tutup. Sebagai alumni dan warga di sini, saya terpanggil mengabdi di sini," tuturnya.

Menurut Zainal, guru-guru lain juga punya spirit dan komitmen yang sama dengan Indra. Ia misalnya menyebut nama A Dunir AMa, yang sudah mengabdi sejak 1999. "Dia pensiun Januari lalu. Tapi sampai kini masih tetap datang dan membantu mengajar," kata Zainal. Dengan kondisi serba minim, sekolah bukan tanpa prestasi. "Siswa kami pernah mengukir prestasi di tingkat provinsi dalam lomba pidato bahasa Indonesia. Kami juga mencatat berbagi gelar di bidang olahraga," katanya.

Sebagai salah satu lembaga pendidikan di Lebong, Zainal lantas mempertanyakan mengapa tak seorang pun CPNS formasi guru yang ditugaskan ke sekolahnya. "Dengan visi-misi meningkatkan iman dan taqwa, mestinya ada perhatian pemerintah daerah karena sekolah ini banyak menekankan pelajaran agama. Kami menyesalkan tak satu pun CPNS guru yang ditempatkan ke sini," katanya. (**)

Komentar