Sepak Bola yang 'Mahal' bagi Saya

Salah satu momen pertandingan sepak bola di Lebong, persisnya di Kecamatan Tubei kini (dok pribadi)



MESKI olahraga ini sangat populer bagi saya, tapi sejak kapan ia menjadi bagian yang menyatu dengan kehidupan saya, saya tak ingat persis. Yang masih membekas adalah saat masih di bangku SD. Sepertinya kelas 3. Saat kami satu kelas bermain di halaman sekolah. 

Di atas tanah merah yang sebagian sudah bercampur pasir dan kerikil, kami bermain si kulit bundar di jam olahraga. Saya sadar sekali, kaki kiri ini mencetak gol dalam permainan di bawah terik mentari siang itu. Itu gol perdana saya dalam sebuah pertandingan. 

Ya, waktu itu kami murid laki-laki dibagi ke dalam dua tim untuk saling berhadapan. Meski saya yang cetak gol, semua yang bermain bersorak dan jingkrak, seolah mereka yang jebol gawang lawan. 😂 

Selama SD, bermain sepak bola adalah yang paling sering di saat jam olahraga. Apalagi guru olahraga kami, Bapak M. Davis, adalah juga pemain sepak bola. Ia bermain sebagai center back dan gelandang saat turun di kompetisi antar kampung (tarkam). 

Kecintaan Pak Davis kepada sepak bola tidak setengah-setengah. Ia tak hanya mengajarkannya saat jam sekolah. Saat kami di kelas 5 atau 6, ia bahkan mendirikan kelompok bermain sepak bola anak anak. Mirip SSB kini. Selain kami yang adalah anak didiknya di sekolah, kelompok itu juga diikuti anak anak usia SD yang ada di kampung kami. Kami rutin latihan di Lapangan Hatta. Tapi saya lupa hari apa saja dan berapa kali pertemuannya. Yang pasti klub ini melahirkan dua kelompok berdasarkan umur dan skill. 

Di waktu tertentu, kami juga dibawa berlatih tanding dengan anak anak di desa lainnya, yakni ke desa kelahiran Pak Davis ini, Desa Garut namanya. Biasanya di hari Minggu sore. Saya tak ingat lagi berapa lama kelompok ini bertahan. Saya sendiri setelah duduk di bangku SMP, mulai jarang datang latihan. Setelah hanya datang sesekali saja, saya akhirnya tak pernah lagi muncul. Asik menikmati dunia remaja. Dengan kawan-kawan baru dan kegemaran baru waktu itu. 

Tapi sepak bola tidak saya tinggalkan. Olahraga ini jadi pilihan utama saat jam olahraga di SMP. Guru kami, Pak Arbi (alm) juga seringkali melepaskan kami pergi ke lapangan bermain sepak bola. Lalu ia pergi entah kemana. Ada kalanya, kesempatan itu kami salah guna juga untuk melalar ke mana mana. Biasanya mampir ke rumah teman kelas untuk mencari buah kelapa. Begitu habis jam pelajaran olahraga ini baru kami kembali ke sekolah 😃 

Jika di SD ada klub yang saya ikuti, di SMP tak ada sama sekali. Apalagi di sekolah, olahraga ini tidak jadi ekstrakurikuler seperti pramuka. Jadi hanya satu kali dalam satu minggu kami bisa bermain. Rasanya, salah satu pertandingan di SMP yang masih membekas adalah saat saya sudah kelas 3 atau kini disebut kelas IX. Waktu itu sekolah kami studi banding ke SMP di Sambirejo, Curup. 

Di antara beragam acara jalan jalan ini adalah pertandingan sepakbola. Meski ada banyak orang--ada empat kelas, dan postur tubuh kecil, saya dibiarkan bermain full. Pemain belakang. Kadang center back. Yang sering sebagai stopper. Sempat ada anak minta menggantikan saya saat jedah istirahat. Tapi ia ditolak guru pendamping, Pak Bing (Subirman). "Dia main bagus," kira-kira itu alasannya. 

Sepatu Bola Pertama 

Bermain bola jadi hobi sampai saya di bangku SMA. Walau tak ada klub atau semacam SSB saat ini, kebiasaan bermain bola saya lakukan di luar sekolah. Kebetulan, rumah orang tua kami tak jauh dari lapangan sepak bola. Lapangan Hatta itu. Ini lah lapangan utama di kecamatan Lebong Utara saat itu.  Lapangan untuk even tahunan, 17 Agustusan.

Jaraknya dekat. Hanya beberapa menit jalan kaki. Di lapangan Hatta saya banyak habiskan waktu. Sejak pulang sekolah hingga petang. Bermain dengan kawan sebaya atau dengan yang lebih tua. Kadang nimbrung dengan pemain-pemain sepak bola top kelas kecamatan kala itu. Saking gila bola, saya jarang di rumah. Hingga suatu hari diceramah adik bapak yang kami panggil dengan uda yang kebetulan datang dari Medan ke Muara Aman. 

Begitulah orang orang kampung dulu secara otodidak dan modal bakat alamnya mengolah si kulit bundar di lapangan hijau. Yang penting bermain. Berlari memburu, menghalau atau menggiring bola. Soal aturan main yang umum saja karena tak ada wasit. Semua yang bermain akan berhenti dengan sendiri jika ada pemain yang handball, tekel keras. Soal offside itu kalau mencolok saja. 

Di masa SMA, saya juga untuk pertama kali bisa beli sepatu bola. Saya lupa mereknya. Yang masih ingat warnanya saja: hitam dengan sedikit list putih. Bukan merek top yang sering dipakai. Plus sepasang kaos kaki yang panjang sampai ke lutut itu. 

Sejak SD dan SMP saya dan umumnya teman sebaya tak pakai sepatu bola saat berlatih. Apalagi bertanding. Di masa itu sepatu bola terbilang barang mewah. Mahal. Pun bolanya. Jarang sekali di antara kami yang bisa beli. Jadi, bermain bola di lapangan itu berlangsung jika ada orang yang latihan dan bawa serta bolanya. Kami bermain nyeker. Kadang, jika bola tak ada, apa yang bisa disepak pun kami pakai.

Dan kesempatan bisa bermain di level tertinggi kelas kecamatan tiba saat saya di kelas 2 atau kelas, 3. Tapi kesempatan ini juga diberikan karena saya sempat memperkuat tim desa sendiri. Walau main di penghujung babak kedua tapi sukses mencuri perhatian guru olahraga sekolah yang juga pelatih tim sekolah kami, Bapak Drs Nusardi. 

Maka pada turnamen 17 an tahun berikutnya, saya resmi berseragam kesebelasan SMA Muara Aman B. Di era ini, meski hanya jadi tim lapis kedua, kami justru bisa bermain apik hingga menembus babak final. Kami akhirnya jadi juara kedua. Tapi capaian itu sudah luar biasa karena tidak pernah kami targetkan. 

Misi kami hanya bisa main saja. Sebab menembus Tim A tak mudah. Mereka memang punya skill dan fisik yang lebih baik dari kami di tim B yang kebanyakan berbadan mungil. Saya kira, itulah prestasi yang pantas dikenang di masa SMA. Sebab tak ada pun yang lain. 😜 

Stadion Semarak 

Ini adalah salah satu momen penting dimana sepak bola menjadi salah satu alasan saya antusias melanjutkan studi ke perguruan tinggi setelah tamat SLTA: Stadion Semarak di Sawah Lebar, Kota Bengkulu, itu. 

Jadi, saat naik ke kelas 2 SMA-- waktu itu dinamai SMU, saya menghabiskan waktu liburan kenaikan kelas di Kota Bengkulu. Di rumah tulang (paman, saudara laki-laki ibu). Ia tinggal di rumah kontrakan di kawasan Bajak, Teluk Segara. 

Suatu hari, saya dan adik yang juga ikut serta diajak Nantulang, istri tulang kami, ke Pagar Dewa. Wilayah kelurahan yang lain ke sebelah selatan. Waktu itu memang mereka tengah membangun rumah sendiri di sana. Saya dan adik diajak membantu. Bersih-bersih semampu kami. Waktu itu kami naik angkot. 

Persis ketika angkot ini melintas di depan stadion dan GOR, mata saya menatap bubung GOR. Imajinasi saya langsung membayangkan lapangan hijau di dalamnya. Saya pikir betapa senangnya bisa main di sana. Saya bermimpi suatu saat harus bisa merumput di situ. 

Dan beberapa tahun kemudian, mimpi itu terwujud. Saat menjadi mahasiswa, kesempatan bermain di stadion Semarak saya dapatkan berkali-kali. Di antaranya yang berkesan adalah saat menjuarai turnamen UMB Cup. Tim kami, Hipromater Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, menjadi satu satunya yang diundang. 

Pada babak penyisihan, saya yang dipasang senior angkatan merangkap kapten kesebelasan dan manajer dan pemain, Anwar Sadat, di posisi stoper dan gelandang serang, sukses membobol gawang lawan. Masing-masing satu gol di dua pertandingan berbeda waktu itu. Saya harus katakan, saat berstatus mahasiswa lah saya terbilang stabil bermain bola. Ada jadwal rutin berlatih dengan teman-teman pemain bola di Jurusan Peternakan. 

Di lapangan sepak bola Kandang Limun, Muara Bangkahulu. Satu-dua kali dalam sepekan. Saya masuk tim sejak di semester 3 hingga sembilan. Di sela liburan saat masa awal kuliah atau masih di Semester 1 sampai 3, saya balik kampung. Kembali bermain di Lapangan Hatta. Bahkan ada satu momen dimana saya dan teman-teman nongkrong membentuk satu tim sepak bola untuk ikut even liga kecamatan antar klub: Liga Trotoar. Dicetuskan seorang juru foto bernama Zulkarnaen. 

Jadilah kami bikin klub amatiran bernama Dewa Parma. Isinya adalah kami yang sejak SMP selalu bermain bersama di salah satu got di pertigaan jalan di Pasar Muara Aman. Kami juga satu sekolah. Soal nama itu juga ada artinya. Kata Dewa itu asalnya dari grup band Dewa 19 yang dibidani Ahmad Dani itu. Di masa itu lagu Dewa 19 sedang top topnya dan jadi pemersatu kami kala nongkrong. 

Lalu kata Parma merujuk ke klub Parma di Liga Seri A Italia. Usulnya dari seorang teman yang sudah familiar dengan sepak bola luar negeri karena ia merantau ke Jakarta. Kata Parma juga cocok saat dipanjangkan sebagai PAsaR Muara Aman. Jadilah Tim Dewa Parma. Debut klub abal abal ini 😅 tak mengecewakan. Hanya diperkuat beberapa orang saja yang memang bisa dan biasa bermain bola, sementara sisanya modal semangat dan asal mau dan berani saja, kami menang waktu itu. Tipis. Satu gol. Golnya pun unik. Blunder tim lawan. Entah siapa lah yang jadi pencetaknya. Pokoknya kami menang. 😄 

Saya yakin, kemenangan perdana di debut itu berkah. Sebab di hari itu, hampir semua pemainnya menunaikan shalat Jumat. Iya, kami bertanding di hari Jumat. Kick off sekitar pukul 15.00. Di pertandingan berikutnya, saya ingat betul bermain di pagi hari, kami jumpa tim tangguh. Tangguh karena rata rata pemainnya sudah senior. Pemain top kecamatan. Sudah sering tampil. Menang di semua lini. 

Tapi dua kali waktu normal dan babak tambahan, skor kacamata. Tak ada gol. Kami lebih banyak diserang. Tapi serangan mereka patah. Saya kira, semangat kawan kawan dan pengalaman saya main di kampus, membantu sekali. Saya paksa tim lawan bermain emosional agar tak bermain lepas. Efektif. 

Permainan akhirnya ditentukan dengan adu penalti. Lagi lagi babak ini pun tak mudah bagi lawan. Lima pemain masing-masing yang jadi eksekutor awal tak bisa bawa kemenangan. Saya pun gagal cetak gol. Bola melambung di atas mistar gawang. Pemain terakhir yang harus ikut eksekusi adalah kiper. Kiper kami gagal. Kiper lawan sukses. Kami kalah dengan kepala tegak! 

Kami bisa saja memenangi permainan di babak normal sebab waktu itu striker kami, Ilham yang biasa kami sapa Aak, dilanggar back lawan di dalam kotak penalti tapi tak diganjar 12 pas oleh wasit. Protes kami diabaikan. 

Dewa Parma masih turun di beberapa kali turnamen. Pemainnya berganti. Regenerasi. Saya sendiri tak pernah lagi bermain. Sebab sejak 1999, keluarga kami pindah ke Kota Bengkulu. Saya tak pernah pulang. Bahkan kaos Dewa Parma nomor 20 yang saya pesan, tak pernah saya lihat alih-alih saya pakai. 

Di kampus, sepak bola juga menjembatani pergaulan. Teman tak cuma mahasiswa di ruang kuliah. Tapi juga dari beda fakultas. Bahkan sepak bola jadi cara saya membaur dengan warga, terutama pemuda di desa dimana saya melaksanakan KKN (kuliah kerja nyata) di tahun 2000. Semester 6. Di Desa Bukit Peninjauan I Seluma. 

Bermain bola itu kegembiraan bagi saya. Sejak SMA hingga kuliah, ia seperti segalanya. Jika ada even dan tim kami akan bermain, urusan di kelas bukan lagi prioritas. Pulang lebih cepat. Tak sabar tiba di sisi lapangan. Tapi hanya sampai di situ. Skill yang terbatas, teknik otodidak, jam terbang yang juga kurang banyak, membuat saya tak mampu masuk tim Fakultas apalagi Universitas. Saya ingat pernah ikut seleksi saja untuk turnamen regional. Salah posisi. Kebagian bek kiri. Gagap lah. 😂 

Lapangan tak lagi kurindu sejak di semester 9. Ada aktivitas lain yang menyita waktu. Saya juga jarang ke kampus. Sudah tak banyak mata kuliah. Hanya satu dua saja sembari mempersiapkan skripsi. Karena tak lagi pernah bermain, tak pernah latihan, saya benar-benar merasa sudah habis ketika suatu waktu ikut bermain lagi di suatu even.  

Saya tak bisa lagi menggiring bola dalam waktu yang lama. Tak bisa menyepak bola dengan kekuatan penuh. Seperti lumpuh. Kaku. Antara antusiasme dengan gerakan tubuh tak lagi padu. Saya kira memang sudah masanya gantung sepatu.

Komentar