Partai Bukan Perusahaan

Judul di atas mengutip pernyataan Fachry Ali, ilmuan dan analis politik, saat menjadi narasumber di salah satu tv swasta nasional, Metrotv, sekitar April 2016 lalu. Pernyataan itu disampaikan Fachry ketika tengah berlangsung Muktamar PPP yang diliput oleh Metrotv. Muktamar itu digelar menyusul terjadinya kisruh kepemimpinan di DPP PPP, yakni antara kubu Romi dan Djan Faridz. Muktamar itu disebut-sebut sebagai muktamar islah PPP.

Bagi Fachry, siapa pun yang terpilih dalam muktamar itu tidak penting. Yang paling penting, kata dia, adalah budaya PPP itu sendiri. Hasil muktamar hanya memperkuat legitimasi saja. Karena itu, dia berharap muktamar itu bisa memperkuat dan meneguhkan kembali titah PPP sebagai organisasi partai politik.

Titah partai adalah kata kunci yang menjadi arus utama dan benang merah ulasan ini. Sebagaimana juga dikemukakan Fachry Ali, demokrasi di Indonesia pasca-Orde Baru telah membuka ruang yang luas bagi masuknya pengusaha ke jantung negara lewat partai politik. Fachry menyebutnya sebagai migrasi modal ke dunia politik.

Demokrasi memang tak membatasi identitas dan asal usul serta profesi apa pun untuk berpartisipasi. Sebab partisipasi memang salah satu syarat bagi kualitas demokrasi. 

Yang menjadi tantangan, jika tak bisa disebut sebagai persoalan, adalah bahwa mereka yang masuk dunia politik tidak dibekali dasar-dasar etik yang benar. Kata Fachry, ketika menduduki atau menguasai pusat-pusat kekuasaan, pebisnis cenderung memproyeksikan kebijakan negara untuk kepentingan bisnisnya.

"Di masa Orde Baru, negara menciptakan kaum kapitalis. Meski begitu, negara masih bisa mengontrolnya dan kapitalis masih respek kepada negara. Namun ketika Orde Baru dan Soeharto rontok, pengusaha atau kapitalis lah yang menjadi kekuatan otonom," kata Fachry.

Fachry Ali mencatat Arifin Panigoro sebagai contoh dimulainya migrasi modal ke dunia politik itu, yakni ketika dia keluar dari Golkar lalu masuk ke PDIP pada tahun 1998 atau 1999 lalu. Saat ini, pebisnis atau pengusaha yang menguasai partai dan pusat kekuasaan diwakili sosok Setya Novanto (ketua DPR), termasuk Partai Gerindra. 

"Novanto adalah ketua DPR, politis. Tetapi pada saat yang sama Novanto adalah pebisnis. Kita bisa mengatakan bahwa aktor-aktor bisnis sudah masuk ke dalam jantung negara. Dan kemudian berusaha mengatur kebijakan negara sesuai dengan kepentingan bisnisnya," kata Fachry dalam sebuah diskusi.

Pernyataan ini seakan menguatkan apa yang terjadi kemudian yang kita kenal sebagai kasus papa minta saham. Kasus yang erat kaitannya dengan kepentingan perpanjangan kontrak PT Freeport di Papua. Kasus ini sempat menggeser Novanto sebagai ketua DPR karena dia mengundurkan diri lalu digantikan Ade Komarudin.

Maka bila melihat dan merasakan kondisi kekinian, haluan partai politik memang sudah bergeser. Bukan lagi sebagai alat untuk mencapai kekuasaan lalu mewujudkan kesejahteraan rakyat, tapi alat mencapai kekuasaan untuk kepentingan bisnis atau modal elit partai itu sendiri...(bersambung)





Komentar