Menyoal 'Semangat' UU Pilkada

ilustrasi/foto Tribun News

Setelah satu dasawarsa menerapkan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat, Indonesia kembali ke sistem pemilihan di era Orde Baru, yaitu dipilih oleh DPRD. Perubahan itu terjadi setelah pada tanggal 26 September 2014 dini hari, opsi pemilihan kepala daerah oleh DPRD didukung 226 suara anggota DPR RI periode 2009-2014. Jumlah suara itu mengalahkan suara 135 anggota DPR RI lainnya yang memilih opsi pemilihan langsung oleh rakyat. Suara mayoritas itu disumbangkan oleh politisi asal Partai Golkar, Gerindra, PKS, PAN, PPP. Sementara yang minor disumbang PDIP, PKB, Hanura dan segelintir Demokrat.

Sidang paripurna pengesahan UU Pilkada itu ditayangkan langsung oleh sejumlah media televisi swasta nasional. Karena live, masyarakat Indonesia juga bisa melihat secara seksama bagaimana para elit di Senayan beradu argumen, bersitegang urat syaraf, bahkan melihat bagaimana sikap dan kegigihan masing-masing kubu mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Singkatnya, rakyat disuguhi retorika yang saling klaim paling pro rakyat, pro demokrasi. Atawa alasan demi kepentingan bangsa dan negara ke depan.

Politisi memang jagonya beretorika, adu argumen, adu taktik, dan lobi-lobi. Karena itu, tak sekalipun, misalnya, kita yang menyaksikan persidangan itu mendengar ada pihak yang mau mengakui argumentasi kubu lawan yang paling tepat, yang paling baik, yang paling pas. Bahkan Partai Demokrat yang seolah tak mau masuk ke salah satu opsi memunculkan opsi baru: pemilihan langsung oleh rakyat dengan tambahan 10 syarat.

Pertanyaannya kemudian adalah: benarkah argumentasi-argumentasi yang disampaikan masing-masing pihak merupakan semangat yang paling mendasari mereka memperjuangkan opsi yang ada? Sungguhkah bahwa kepentingan bangsa dan negara dan demi demokrasi itu adalah tujuan yang mau mereka perjuangkan? Sebagai warga bangsa ini, saya pribadi meragukannya.

Bagi penulis, retorika-retorika yang dikemukakan, khususnya dari kubu koalisi merah putih, bukanlah alasan yang mendasar (sense of purpose). Mereka bicara soal demokrasi. Mereka bilang Demokrasi Pancasila. Adapun PDIP, PKB dan Hanura bilang pemilihan langsung lebih demokratis. Tapi bagi penulis, pertarungan mereka bukan soal itu. Baik langsung oleh rakyat atau tidak langsung (oleh DPRD), bukan perkara demokrasi itu sendiri. Langsung oleh rakyat, demokratis. Tak langsung atau oleh DPRD juga demokratis!

Misi Kekuasaan
Di depan publik, di depan layar, saya menduga mereka hanya seolah-olah bicara kepentingan bangsa dan negara. Penulis menduga kuat, motivasi mendasarnya adalah kekuasaaan. Sikap politik PAN, Golkar, PKS, Gerindra dan PPP, terasa lebih sebagai 'pembalasan' atas kekalahan di Pilpres yang lalu.

Seperti sudah kita ketahui, koalisi merah putih yang dimotori Gerindra, adalah partai-partai yang mengusung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa, sebagai calon presiden dan wakil presiden. Sementara PDIP, PKB, Hanura, nyata-nyata berada di belakang Joko Widodo-Jusuf Kalla. Selain kalah berdasar hasil hitung cepat berbagai lembaga survei, Prabowo-Hatta kalah berdasar hasil rekapitulasi di KPU dan lalu kalah lagi di Mahkamah Konstitusi (MK).

Karena sudah kalah di Pilpres, berdasar hasil Pemilu Legislatif, koalisi merah putih rupanya sudah mengkalkulasi bahwa kalau kekuatan mereka tetap solid sampai ke daerah, maka akan ada banyak pertarungan pilkada yang bakal mereka menangkan. Dengan kata lain, bakal ada banyak gubernur, walikota, dan bupati yang diusung KMP sebagai pemenang pilkada jika pemilihannya dilakukan oleh DPRD. Dengan kalimat lain pula, bakal ada banyak pertarungan vis a vis PDIP (mungkin ditambah PKB, Hanura dan Nasdem) yang dimenangkan KMP. Sejauh ini saja KMP sudah menang dua kali: UU Pilkada dan UU MD3.

Tentu saja semangat atau motivasi kekuasaan itu tak diakui secara terang oleh KMP. Tetapi gelagatnya sudah tampak. Dalam sejarah perpolitikan kita, belum pernah ada koalisi yang permanen. Biasanya usai pertarungan masing-masing partai akan cair. Mereka akan memilih jalannya masing-masing. Pilihannya menjadi oposisi atau merapat. 

Tapi KMP menyatakan mereka akan permanen. Mereka akan menjadi oposisi Jokowi-JK. Maka tak heran, sebelum dilantik, anggota DPR RI periode 2014-2019 dikumpulkan di satu titik dan mendapat pengarahan semua ketua umum partai di barisan KMP. Ketika disorot media, pesan-pesan yang disampaikan para ketua umum memang demi bangsa dan negara. Tapi di balik layar, di luar sorotan kamera tv, hanya KMP yang tahu!

Sikap Demokrat
Tak bisa dipungkiri, sikap Fraksi Demokrat yang meninggalkan paripurna alias walk out memantik kemarahan, kekecewaan dan penyesalan. Terutama masyarakat yang mendukung pilkada langsung. Kemarahan, kekecewaan dan sesal bagi Demokrat itu tak terelakkan karena sebelum ketuk palu UU Pilkada, Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai presiden, selaku ketua umum Partai Demokrat, sudah memberi sinyal pro pilkada langsung oleh rakyat. Faktanya, dengan dalih opsi langsung plus 10 syarat tak dipenuhi, Demokrat meninggalkan gelanggang sehingga memuluskan perjuangan KMP.

Beberapa hal penting yang patut dipertanyakan kepada Demokrat adalah mengapa 10 syarat itu baru muncul belakangan? Kalau benar mereka pro pilkada langsung, mengapa tak mendorongnya sejak awal di panitia kerja? Rasanya manusiawi kalau usul itu ditolak karena diusulkan menjelang paripurna dan berakhirnya masa kerja mereka di DPR? Kalau opsi mereka diterima, tentu butuh waktu lagi agar 10 syarat itu bisa disusun menjadi bab, pasal atau ayat dalam rancangan UU Pilkada.

Nasi sudah jadi bubur. Bagaimanapun juga keputusan sudah dijatuhkan. Sebagai bangsa yang menyatakan dirinya negara hukum, maka baiklah kalau upaya-upaya penolakan UU Pilkada itu dilakukan secara konstitusional, tetap dalam kerangka hukum dan aturan yang berlaku. Penulis setuju pendapat mantan ketua MK, yang juga mantan ketua tim kampanye Prabowo-Hatta, Mahfud MD. Silakan ajukan judicial review melalui MK, atau ajukan UU pengganti oleh DPR periode 2014-2019. 

Kalau pun tidak, mari taati bersama. Lalu biarkan diuji selama lima tahun ke depan. Kalau memang sikap partai-partai yang tergabung dalam KMP tidak senafas dengan semangat reformasi, kehendak rakyat banyak, mari mengujinya di pemilu legislatif 2019. Bila hari ini KMP kita anggap merampas hak rakyat, maka hukumlah KMP di Pileg 2019 nanti (sanksi sosial). Kalau sikap KMP itu teruji bermanfaat banyak bagi kemajuan bangsa, maka tak ada ruginya kalau kita legowo mempertahankan pilkada lewat DPRD dan dukung lagi KMP di tahun 2019, bukan?

(Ini tulisan lama, semula untuk Kompasiana, tapi tak kunjung dipos-kan)

Komentar