Sepenggal Cerita, Kisah Sopir Romi

Entahlah, saya suka sekali mendengar kisah dan cerita orang-orang yang baru saya temui. Baik sengaja atau pun tidak karena sudah dipertemukan begita saja oleh Sang Maha Kuasa. Kadang, mereka yang sudah seringkali saya jumpai, tapi jarang saya bincangi, tetap membuat saya menikmati diam untuk menjadi pendengar yang sabar.

Seperti baru-baru ini, akhir pekan lalu ketika untuk kesekian kalinya saya menumpang mini bus jurusan Bengkulu-Lebong (pp). Kali ini dalam perjalanan pulang, go home, dari Lebong ke Kota Bengkulu. Jadi perjalanan dimulai sore hari lewat jam tiga sore.

Sebetulnya, saya hampir saja menumpang bus travel lain jika saja sang sopir tak berkenan menunggu saya yang terlambat memesan satu bangku sore itu. Bukan tanpa alasan. Sepekan sebelumnya ketika travel yang sama saya pesan sekitar jam 2 siang, jemputan justru baru tiba sekitar jam empat sore. Saya sempat tertidur saat menunggu. Padahal saat ditelepon si sopir menyampaikan akan segera berangkat.

Maka supaya tak bosan menunggu, sengaja saya lambat pesan bangku. Hari itu saya telepon sekitar pukul tiga sore. Ternyata busnya sudah lewat depan kantor dimana saya biasa dijemput. Bahkan jaraknya sudah lumayan jauh sehingga si sopir enggan putar kepala. Dengan dalih tak enak dengan penumpang yang lain, dia meminta saya menyusul.

Karena saya yang memang harus pulang, permintaan itu saya turuti. Beruntung masih ada teman se kantor yang berkenan mengantarkan saya. Lima belas menit di atas motor, travel yang saya susul sudah di kaki Bukit Resam. Si sopir dan penumpang yang sudah menunggu tampak bersahabat saja saat saya masuk mobil Toyota Innova itu lewat pintu belakang. "Lewat sini saja bang biar gampang," seloroh si sopir sembari mengangkat pintu ke atas.

Di jalan yang rusak parah, sopir dan penumpang yang lain mulai berkata-kata. Barangkali meneruskan cerita yang sempat terpotong saat saya tiba tadi. Ada banyak kisah yang mereka ungkap. Dan satu cerita yang membekas diungkap si sopir. Saya tak habis pikir, pengalaman si sopir bisa benar-benar nyata, terjadi. Di dunia sandiwara saja saya belum pernah melihatnya.

Ceritanya begini: Si sopir yang bernama Romi ini ternyata jebolan strata satu salah satu universitas negeri ternama di daerah ini. Dia sarjana ekonomi (SE). Banyak penumpang yang mendengar tak percaya sebab selama ini dia rutin membawa travel.

Sebaliknya teman-teman Romi di kampus juga tak tahu kapan dia masuk kampus dan tiba-tiba sudah memasang toga di kepala lalu diwisuda menjadi sarjana. "Iya, mereka tak percaya saya bisa duluan wisuda daripada mereka. Setahu mereka saya jarang masuk," kata Romi.

Penumpang di depan saya, sebut saja Eyi, lalu bertanya bagaimana bisa begitu?

"Kalau masuk pagi saya selalu sempatkan datang, trus absen. Jam 10 kan kelar, habis itu saya langsung berangkat. Jadi tak pernah absen," jelas Romi.

Kalau masuk siang, Romi punya trik lain lagi. Dia minta tolong sama temannya se angkatan tapi beda lain kelas. "Untung saya tak begitu dikenal (populer) di kelas, jadi dosen tak tahu kalau yang mengisi absen saya itu teman dari kelas lain," ujar Romi.

Kalau ada tugas dari dosen, Romi juga punya cara jitu. "Saya pacari teman sekelas. Siapa saja, mau cantik mau jelek gak ambil pusing. Yang penting mau bantu bikin tugas. Ada beberapa teman sekaligus yang saya pacari untuk urusan ini," kata dia.

Penumpang yang lain tak kuasa menahan tawa usai mendengar ceritanya. Saya yang diam menyimak pun tak kuasa menahan geli. "Anak ini kreatif, edan dan unik," pikir saya.

Pernah suatu kali, cerita Romi, dia sudah dalam perjalanan mengantar penumpang dari Bengkulu ke Lebong. Lalu saat tiba di rumah makan unuk istirahat ada temannya yang memberi kabar ada ujian hari itu jam dua siang.

Romi pun tak habis akal. Dia pinjam motor si empunya rumah makan lalu bergegas kembali ke Bengkulu menuju kampus agar bisa ikut ujian. "Dan penumpangnya saya minta diantar ke Lebong sama si pemilik rumah makan itu juga," kata Romi. Gelak kami tambah jadi.

Si Romi ini memang tukang cerita. Dia juga sedikit ceplas ceplos kalau bicara. Saking ceplosnya, pernah suatu kali dia ditolak mentah-mentah oleh pihak universitas swasta di daerah ini gegara TOEFL.

"Saya dengar nilai TOEFL di kampus itu bisa dibeli. Makanya saya datang ke sana, saya temui pihak kampusnya. Saya langsung bilang saja saya mau beli. Mungkin tersinggung, mereka tak mau. Padahal teman saya cewek bisa. Kalau saya cewek mungkin dapat karena bisa membujuk," kenang Romi.

Romi..Romi.
"Eh, lewat bang. Harusnya lewat situ tadi," tiba-tiba Romi menyapa saya yang menjadi penumpang pertama yang dia antar ke alamat.


Komentar