Hutan di Bukit Resam yang Segera Hilang

Setelah lebih 10 tahun dan hampir setiap akhir pekan melalui jalan ini, Lebong-Arga Makmur, baru pada tahun ini pemandangan hutan di kawasan Bukit Resam tampak makin memprihatinkan. 

Rasanya tak perlu menunggu hitungan tahun, hutan Bukit Resam agaknya tak akan bertahan, hilang ditebang warga untuk ladang pertanian (kebun).

Sejatinya, satu dekade yang lalu kondisi hutan Bukit Resam memang sudah terancam. Dari pinggir jalan, ribuan pohon tinggi menjulang memang tampak bertahan. Namun kalau masuk ke dalam kawasan, ratusan hektar areal lahan sudah berubah menjadi kebun: kebun karet, kopi dan lainnya.

Namun sejak awal tahun 2017 ini, ribuan pohon sudah rata dengan tanah. Pohon-pohon itu tumbang ditebang parang, kapak atau gergaji para pembuka lahan. 

Kawasan hutan lindung itu kini sudah tampak terang benderang. Jika biasanya saya bisa bertemu kabut tebal, kini hanya kepulan asap dari pembakaran pohon atau kayu-kayu yang mengering. 

Jika biasanya hanya segelintir orang yang bisa kita jumpai saat melintas di jalan, kini pemandangan orang tengah menggarap lahan untuk berladang dari pinggir jalan mudah sekali dijumpai.

Sejarah Hutan Lindung
Tiga dekade lalu, aktivitas membuka lahan di kawasan Bukit Resam adalah pelanggaran. Petugas pasti memburu siapa pun yang mengganggu keperawanan kawasan lindung ini. Pos jaga didirikan, petugas penjaga digilir siang dan malam.

Anehnya, sejak tapal batas antara Kabupaten Lebong dan Bengkulu Utara dipastikan lewat terbitnya Permendagri Nomor 20 Tahun 2015, status Bukit Resam seolah tak bertuan.

Kepulan asap, pondok-pondok baru, deru sepeda motor, hilir mudik warga keluar masuk hutan, menjadi pemandangan umum dan lumrah di sana. Warga seolah berlomba membakar lahan, menebang pohon, membuka lahan dan perlahan menanam bibit kopi, karet, dan tanaman penghasil rupiah lainnya.

Status sebagai kawasan atau hutan lindung Bukit Resam ditetapkan oleh Departemen Kehutanan pada tahun 1982 (Dari Desa ke Desa: Dinamika Gender dan Pengelolaan Kekayaan Alam, 2007).

Namun, seperti dikutip dari tulisan Tommy Erwinsyah dalam buku itu, penetapan Bukit Resam menjadi hutan lindung membuat warga Kota Baru Santan, salah satu desa yang berbatasan langsung dengan Bukit Resam, marah.

Bagi warga setempat, Bukit Resam merupakan tanah marga tempat berladang. Karena itu, kendati bagi pemerintah statusnya hutan lindung, bagi masyarakat Bukit Resam tetap menjadi lahan berladang yang mereka garap diam-diam. Selain kopi, warga peladang juga menanam nilam. 

Apapun alasannya, status hutan lindung itu sudah ditetapkan pemerintah. Pemerintah melalui instansi terkait juga sudah memberi ruang pengelolaan di kawasan itu lewat program pemanfaatan hutan untuk perkebunan dengan komoditas tertentu untuk tetap mempertahankan fungsi hutan.

Komentar