Di bawah ini saya copas tulisan Andreas Harsono dari lamannya: http://www.andreasharsono.net. Sengaja saya copas sebagai bahan yang boleh jadi akan saya baca berkali-kali.
Untuk apa?
Pertama, sebagai pedoman karena tulisan ini saya amini. Saya bersyukur karena memasuki dunia jurnalistik; menjadi wartawan lewat proses seleksi atau rekrutmen yang mempertimbangkan kemampuan menulis.
Saya ingat betul, lowongan pekerjaan di salah satu harian lokal di Bengkulu tahun 2006 saya ikuti dengan menyertakan tulisan opini saya yang pernah dimuat di salah satu media harian lainnya. Lalu saat menjalani ujian tertulis, masih diberi ujian menulis laporan.
Saya menunggu sekitar dua minggu sebelum akhirnya panggilan via telepon memberi kepastian bahwa saya diterima di media itu. Saya ingat, dari tiga orang yang ikut tes saat itu, hanya saya yang diterima.
Melalui masa percobaan selama tiga bulan, saya lantas ditugaskan ke daerah dimana media ini belum dikenal secara luas. Bisa dibilang, ini perdana. Maka tanpa pembekalan dan pelatihan jurnalistik, hampir enam tahun lamanya saya melakoni kerja-kerja media di sana.
Saya merasa beruntung karena bertemu wartawan kawan yang mau berbagi ilmu dan pengalaman. Perjalanan waktu membuat saya merasa kawan ini sungguh-sungguh melakoni tugas-tugas jurnalistik dengan baik.
Saya kira itu hal kedua. Tulisan Andreas Harsono menyiratkan perlu ada pembimbing dan proses mau belajar agar seorang wartawan bisa dan mampu menulis. Proses yang membuat saya tidak semata-mata menjalankan tugas karena wartawan adalah pekerjaan saya, tetapi sekaligus profesi.
Nah, ini dia tulisannya:
________________
Selama tiga atau empat tahun ini, saya sering bicara dengan redaktur media, yang mengeluh karena wartawan mereka banyak yang tak bisa menulis. Jakob Oetama, orang nomor satu Kelompok Kompas Gramedia, bilang bahwa wartawan Kompas banyak yang belum bisa menulis. Goenawan Mohamad dari Grafiti Pers, yang menguasai kelompok Tempo dan Jawa Pos, mengatakan ia tak pernah punya "lebih dari 10 orang penulis" di majalah Tempo.
Bagaimana sih mencari dan merekrut wartawan baru yang kelak terbukti bisa bikin reportase dan penulisan bagus?
Saya kebetulan bertemu Wendel "Sonny" Rawls Jr., mantan wartawan dan redaktur The Philadelphia Inquirer, The New York Times serta The Atlanta Journal, tentang bagaimana cara mencari reporter. Sonny terkenal bertangan dingin dalam mencari dan mendidik wartawan muda.
Kami bertemu di Hotel Renaissanche Chancery Court di London, mengobrol panjang-lebar, lalu saya minta izin mengutip omongannya Rabu lalu.
Sonny misalnya, merekrut James Newton sebagai reporter The Atlanta Constitution. Sekarang Newton redaktur The Los Angeles Times. James Newton diperkirakan bakal jadi "James Reston" --kolumnis legendaris di Washington DC pada zaman Perang Dunia II.
Sonny juga menulis buku Cold Storage (1980) tentang orang gila dan rumah sakit jiwa. Ia mengerti psikologi. Ia juga mengerti banyak soal kriminalitas. Sonny menulis naskah film seri Law & Order.
Sonny juga partner Bill Kovach di The New York Times dan The Atlanta Constitution. Kalau Kovach adalah panglima, maka Sonny adalah orang yang mengurus keperluan rumah tangga dan operasi suratkabar.
Bagaimana cara merekrut wartawan?
Menurut Sonny, ia biasa minta wartawan yang melamar ke tempatnya untuk mengirim 10 contoh laporan. Ia minta news stories, bukan feature, baik dengan struktur piramida terbalik atau piramida (Sonny paling suka dengan struktur piramida).
"Saya baca lead dulu dan tiga alinea pertama. Apakah beres atau tidak? Kalau beres, mudah dicerna, jelas, jernih, saya akan baca the end of the stories."
Ini penting untuk mengetahui apakah si pelamar bisa menghubungkan lead dengan ending laporannya. Sonny bisa menilai kemampuan logika si pelamar dari hubungan awal-akhir ini.
"I want to know whether they have really have strong understanding," katanya.
Bila tidak sambung, bila tak jernih, ia memutuskan menolak si pelamar. Bila sambung, maka Sonny akan membaca semua naskah, dari alinea awal hingga akhir, semua 10 laporan itu. Bila laporannya baik atau menjanjikan, maka Sonny akan mewawancarai si pelamar.
Sonny menyebut nama-nama wartawan yang pernah diwawancarainya, bagaimana mereka membangun karir, mula-mula di tempat Sonny namun pindah ke media lain. Ia juga tahu bagaimana orang macam James Newton tak menarik buat redaktur lain --bahkan mulanya ditolak The Los Angeles Times-- tapi tidak bagi Sonny.
"James is not a selling person. Dia tidak bisa menawarkan dirinya dengan baik," kata Sonny.
Charles Lewis, mantan wartawan CBS dan pendiri Center for Public Integrity di Washington DC, mengatakan, "Sonny Rawls is a legend."
Sonny mampu memotivasi reporter. Sonny sendiri pernah mendapat Pulitzer Prize pada 1977. Ketika memegang ruang redaksi Atlanta, ia juga menugaskan wartawan-wartawan meliput macam-macam isu dimana empat di antaranya dapat Pulitzer.
Bila sudah baca, ia akan mewawancarai si pelamar. Mulai dari karir mereka serta kehidupan mereka.
"What kind of books they read?"
"What they do when they're not working?"
Saya tanya kenapa kegemaran orang pun ditanyanya.
Apa makna seorang wartawan yang suka memancing misalnya?
Menurut Sonny, pemancing artinya orang yang "kontemplatif." Ia orang yang suka berpikir dengan dalam.
Tapi Sonny tak suka dengan wartawan yang merokok dengan pipa. "Too slow thinking," katanya, menirukan gaya orang mengisap pipa.
Contohnya?
Sonny menunjuk Max Frankel, mantan redaktur eksekutif The New York Times, yang mengepalai biro Washington harian The New York Times pada awal 1970-an. Frankel memang perokok pipa.
Frankel terkenal gara-gara ia kalah dalam liputan skandal Watergate dari harian The Washington Post dengan duet Bob Woodward dan Carl Bernstein. Presiden Richard Nixon akhirnya mundur gara-gara Watergate.
"Ben Bradlee tidak merokok pipa," kata Sonny, merujuk pada redaktur eksekutif The Washington Post. Bradlee memimpin Woodward dan Bernstein untuk mendalami Watergate.
"Frankel bekerja pelan sekali. Kami dihajar habis-habisan oleh Bradlee," kata Sonny.
Saya ingat bahwa di Jakarta maupun kota-kota lain, kebanyakan media besar melakukan seleksi wartawan lewat tes psikologi dan melibatkan orang-orang personalia (lebih dulu) sebelum segelintir yang lolos diwawancarai para redaktur. Menariknya, proses lamaran sering kali tanpa melibatkan tulisan si pelamar. Lebih sering malah tes psikologi.
Sonny tak peduli dengan tes psikologi. Ia bilang media bermutu macam The New York Times atau The New Yorker belum pernah pakai tes psikologi. Wartawan harus dites lewat tulisannya. Beberapa media lain, misalnya The Philadephia Inquirer, memakai tes psikologi. Sonny tak keberatan dengan tes ini namun ia juga tak peduli.
Menurut Sonny, mencari wartawan adalah seni. Ia harus dilakukan sendiri oleh redaktur-redaktur puncak media bersangkutan. Mereka harus tajam mencari wartawan muda yang berbakat. Tulisan adalah utama.
Ketika bekerja dengan Kovach, entah Kovach atau Sonny sendiri yang melakukan rekrutmen. Kalau ada lowongan, mereka tak memasang pengumuman, tapi melakukan talent scouting di media kecil.
Saya senang bicara dengan Sonny. Saya kira cara-cara ini bisa dipakai sebagai bahan perbandingan di Jakarta. Di kalangan media Jakarta, jarang sekali ada lowongan pekerjaan yang minta si pelamar mengirim contoh tulisan. Kebanyakan yang diminta Indek Prestasi 2.75 bahkan 3 (padahal semua universitas kita jelek) atau bisa bahasa Inggris (saya setuju).
Nurman Jalinus dari Bisnis Indonesia pernah bilang bahwa sekali kita salah rekrut, maka seumur hidup kita harus membayari gaji seseorang yang tak bisa menulis dan tak banyak berguna untuk ruang redaksi kita.
Bagaimana bisa mendapat wartawan yang bisa menulis ketika rekrutmennya tanpa tulisan?
Saya kira mungkin sudah saatnya cara rekrutmen diganti.
_________________
Komentar
Posting Komentar