Daulat Pangan Butuh Gerakan Ideologis dan Kultural

Disadari atau tidak, pola pertanian kita yang sudah bergeser dari polikultur menjadi monokultur adalah buah liberalisme. Apa yang mau dicapai oleh sistem liberalisme adalah membuat negara berkembang menjadi tergantung kepada negara maju.

Kemajuan di berbagai bidang, terutama teknologi membuat negara maju bisa menghasilkan barang atau produk dalam skala massif dan dengan harga yang bersaing (baca: lebih murah). Sementara negara berkembang yang ikut arus liberalisme itu sejatinya hanya menjadi penyuplai bahan mentah sekaligus pasarnya.

Sebutlah sawit. Indonesia memang menjadi salah satu negara dengan pengekspor sawit terbesar dunia. Namun di saat yang sama Indonesia belum mampu mengimbangi negara maju yang bisa mengola sawit menjadi produk bernilai jual tinggi. Indonesia justru menjadi pasar utama hasil olahan sawit.

Atau sebagai negara yang pernah swasembada beras. Faktanya Indonesia masih menjadi negara yang mengimpor beras. Kenapa? Karena liberalisme memang menuntut demikian.

Jadi selama kita masih mengakui komitmen politik ekonomi global bernama liberalisme, selama itu pula kita tidak mungkin akan berdaulat penuh atas diri sendiri sebagai negara.

Bahwa kita memang sudah punya panduan ideologi tidak dipungkiri. Namun komitmen negara terhadap ideologi itu sendiri lemah. Kelemahan itu tidak berdiri sendiri tetapi memang diciptakan oleh kekuatan ideologi lain bernama liberalisme dan kapitalisme.

Perang Dunia II sudah jamak diketahui sebagai pertempuran ideologi: kapitalisme yang dimotori Amerika Serikat dan sosialis-komunis yang disokong Unisoviet.

Perang dingin itu pun bisa disebut berakhir dengan kemenangan kapitalisme. Sistem ini menjadi warna dominan struktur ekonomi yang ditopang kebijakan politik di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Virus kapitalisme di Indonesia sudah merasuk sejak masa kolonial. Hal ini sejalan dengan perkembangan kapitalisme di belahan Eropa pasca-revolusi industri di abad pertengahan.

Di masa Orde Baru, kapitalisme diberi jalan dan ruang yang luas sehingga menjadi pakem politik dan ekonomi negara. Yang disebut ekonomi Pancasila dengan koperasi sebagai sokoguru hanya menjadi jargon. Beda wacana, beda pula praktiknya.

Dan setelah sekian dekade, kerapuhan sistem kapitalisme pelan-pelan mulai menggerus berbagai sektor dan hajat hidup bangsa. Tak cuma aspek sosial tapi juga kultur dan mental. (Bersambung..)

Komentar