Geram Si Pedagang Somay

Hujan ternyata baru saja reda. Bekasnya saya jumpai pada jalan aspal yang basah.

"Hujan panas," pikir saya.

Deru mesin roda empat yang kupacu di badan jalan yang mulai mengering lalu membisu. Kumatikan mesin. Kubuka pintu lalu turun ke jalan.

Uap hujan panas masih terasa saat langkah kaki menjejak aspal. Sekitar lima langkah, saya menyapa penjual somay di salah satu sudut jalan dua jalur komplek perkantoran Pemda Lebong.

"Somay mang!" saya langsung pesan.

"Bungkus atau makan di sini?" dia bertanya.

"Makan di sini saja," jawab saya.

"Pedas ya?" dia memecah hening.

"Sedang saja mang!" saya menimpal.

Segera saja saya santap somay begitu wadahnya kokoh saya tampung di telapak tangan. Usai suapan kedua, saya pancing si mamang bicara lagi.

"Balik kemana mang?"

"Dekat sini lah. Di Desa Taba Baru," sebutnya.

"Sudah lama jualan somay di sini?" cecar saya lagi.

"Sudah. Dulu saya jualan di bawah, di pasar. Tapi karena sudah banyak yang jualan, saya pindah ke sini," terang lelaki paruh baya itu.

Memang jumlah tukang somay yang kerap keliling dan mangkal di sekitar wilayah perkantoran Pemkab Lebong masih kalah banyak dibanding jumlah jari tangan. Yang sudah pernah saya cobai somay-nya saja tiga orang. Jumlahnya segitu saja. Tapi orangnya bisa ganti-ganti.

Tukang somay yang pertama kali saya bincangi mengaku dari Jawa Barat. Si mamang itu juga mengaku sebagai pengurus salah satu partai politik di daerah asalnya.

"Yang sering mangkal di depan Masjid Agung masih satu rombongan, mang?" saya lanjut tanya.

"Oh, iya, Itu masih anggota saya," katanya.

"Anggota, maksudnya anggota apa ya," ini cuma pertanyaan dalam hati. Tidak saya ucapkan.

"Sudah lama di Lebong, mang?"

"Sudah tiga periode," jawabnya. Maksud dia adalah tiga periode masa kepemimpinan bupati Lebong.

Setelah pertanyaan itu, si mamang langsung saja mengeluarkan unek-uneknya. Dia mengkritik pemerintahan yang dia anggap belum mampu memberikan kepastian kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat.

Dia 'marah' kepada orang-orang berpendidikan tinggi yang menurutnya tidak mampu memberi solusi atas gagalnya program tanam dua kali sehingga ekonomi masyarakat tidak kunjung meningkat.

"Ini daerah bagaimana mau maju, ya? Semak belukar dimana-mana. Sepertinya belum layak lah kalau perkantoran dibangun di sini," pendapatnya.

"Itu rumah dibiarkan kosong sama yang punya. Orangnya tinggal di Lampung. Tapi lahannya luas dibiarkan menganggur," kata si mamang seraya menunjuk sebuah rumah lumayan bagus. Rumah itu berdiri di atas lahan bekas sawah. Saban sore kerap menjadi tempat mojok muda-mudi.

"Kalau Lebong ini masih dipimpin bupati..., saya yakin Lebong ini sudah jauh lebih maju," lanjutnya lagi.

"Kita ini manusia. Tujuan kita itu ya mati. Ibarat pepatah, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading. Nah, kita manusia meninggalkan apa kalau bukan jasa?"

"Tengok Suharto. Dia bikin inpres-inpres, pembangunan di sana sini. Dia dikenang sampai sekarang."

Kalimat terakhir membuat emosi saya tersulut. Saya hampir saja membantahnya dengan sederet fakta gagalnya Orde Baru. Tapi saya memilih diam. Saya lalu manggut-manggut.

Protesnya masih berlajut. Lambat laun mulai terasa seolah menghakimi saya. Dia tumpahkan geramnya kepada saya yang masih mengenakan seragam aparatur pemerintah.

Usai amarah dibumbui ceramah agama-nya, saya pun mulai bicara.

"Saya capek ngomongin daerah ini, mang. Sudah malas saya. Semua yang mamang bilang soal kelemahan daerah ini saya setujui. Yang mamang sampaikan itu sudah saya sampaikan sejak sepuluh tahun yang lalu. Langsung ke bupati dan anggota DPRD. Sampai hari ini, nggak jelas," papar saya.

Si mamang tiba-tiba diam. Barangkali dia kaget saya balik bicara begitu. "Bupati yang mamang bilang itu memang pintar, punya wawasan luas dan pengalaman. Tapi, itu tadi seperti mamang bilang, nggak jujur," kata saya.

"Iya, memang nggak ada yang sempurna," timpal dia.

"Mamang tahu, saya sudah periksa. Dimana ada aset daerah, biasanya ada asetnya juga di sekitar itu," ulas saya.

Si mamang manggut-manggut.

"Jadi mang, perubahan maju di sini bisa terjadi kalau pemimpinnya punya gambaran yang jelas mau dibawa kemana daerah ini, mau dibikin seperti apa. Itu harus bisa dia sampaikan langsung kepada masyarakat paling bawah sekalipun. Jadi kuncinya ada di pimpinan eksekutif maupun legislatif," saya berpendapat.

"Tapi masyarakat di sini tidak mau memilih pemimpin dari luar, ya? Apa mau mereka memilih orang dari luar?" tanya dia.

"Orang sini tidak membedakan orang luar atau bukan. Sifatnya orang sini terbuka. Yang penting ada modal sosial, yakni pergaulan, dikenal masyarakat. Juga soal finansial," simpul saya.

"Kata mamang saya setuju. Calon pemimpin di sini minimal memenuhi tiga syarat: pintar, tegas, dan jujur. Yang sudah pernah memimpin, pintar tapi nggak jujur. Lalu ada yang jujur tapi tidak berwawasan luas," kata saya.

"Dan saya, sebagai pedagang somay cuma bisa ngobrol. Kita cuma sebatas ngobrol," ujar si mamang.

"Iya, mang. Saya juga cuma bisa jadi kompor. Biar yang ikutan ngobrol bisa sehati sama saya. Sama-sama peduli sama daerah ini. Ini kampung saya," kata saya mengakhiri.



Komentar