HPS, Hari (Menggugat Politik) Pangan Semesta

Ilustrasi/Aktivitas petani merawat tanaman cabe/foto dok pribadi

Sapa seorang pemuda yang duduk di barisan paling belakang membuka percakapan kami sore itu (15/10/2018). Kami sama-sama penumpang angkutan minibus, yang populer kami sebut travel, dalam perjalanan ke Kabupaten Lebong.

Saya lupa namanya. Yang saya ingat, dia bekerja sebagai tenaga kontrak di salah satu BUMN di Kota Bengkulu. Dia tamatan jurusan pertanian di salah satu SMK di Kabupaten Lebong tahun 2014. Anak muda itu sempat studi di Fakultas Pertanian Jurusan Agronomi, Universitas Bengkulu.

Bagi saya, pertemuan itu bukan semata perkara kebetulan. Hari ini, kisahnya membantu saya merenung dan menguraikan kembali perihal kedaulatan pangan yang dituliskan Dr. Ir. Hermen Malik, M.Sc dalam bukunya berjudul "Melepas Perangkap Impor Pangan" terbitan LP3ES tahun 2014.

Buku ini dia tulis semasa masih menjabat sebagai kepala daerah, Bupati Kaur periode 2011-2016. Hermen sendiri memang berlatar belakang akademisi. Dia staf pengajar alias dosen pertanian Universitas Bengkulu.

Kata anak muda tadi, pilihannya masuk SMK jurusan pertanian adalah pilihan sadar. Di usia yang belia, dia sudah mampu membayangkan betapa kalau dia masuk SMA, maka studinya harus berlanjut ke perguruan tinggi.

"Waktu itu saya khawatir kalau sampai orang tua tidak mampu membiayai, maka ilmu SMA tidak bisa saya gunakan kalau mau berkarir di dunia wiraswasta. Makanya saya pilih SMK. Kalau saya tidak kuliah, saya sudah punya modal ilmu pertanian," kira-kira begitu dia beralasan.

Dia bilang, saat memilih jurusan pertanian, teman-teman sebaya dan tetangga mengoloknya. Orang-orang yang dia kenal mempertanyakan atau tepatnya memandang rendah pilihannya. "Masa orang tua petani, sekolah bertani, kuliah pertanian lagi," kira-kira begitu sindirannya.

Tapi anak muda ini sudah punya prinsip. Baginya yang penting adalah ilmu. Cibiran orang-orang tadi dia abaikan. Sayang, kekhawatirannya tentang putus studi di tengah jalan akhirnya benar-benar menjadi kenyataan ketika dia sudah duduk di semester dua.

"Bapak kena struk ringan sehingga kuliah saya tak bisa lanjut," ujar dia. "Tapi saya masih akan melanjutkan studi. Saya berencana masuk UT (Universitas Terbuka). Kebetulan kantor libur pada hari Sabtu dan Minggu. Saya bisa manfaatkan waktu libur itu," tekadnya.

Saya membayangkan, andai si anak muda itu bisa memahami kondisi pertanian di kampungnya saat ini. Kebetulan dia memang tinggal di wilayah yang termasuk lahan pertanian produktif yang terus tergerus alih fungsi karena hamparan sawah di kampungnya itu kini tak lagi ditanami padi, tapi juga bangunan rumah permanen. Dia bilang rata-rata yang bikin rumah di sana adalah pegawai negeri sipil.

***
Alih fungsi lahan dan cibiran generasi muda kepada pertanian sejatinya adalah masalah utama pembangunan sektor pertanian saat ini. Pesatnya laju pertumbuhan penduduk tidak dibarengi dengan pertambahan lahan pertanian; dan kuatnya kapitalisasi pertanian yang membuat petani kian gurem.

Hermen Malik memotret secara utuh persoalan-persoalan pertanian itu dalam bukunya "Melepas Perangkap Impor Pangan" itu. Hermen mengatakan, alih fungsi lahan adalah jebakan kapitalisme. Ia menulis," Modernisasi dan kapitalisme adalah biang kerok yang menyebabkan mentalitas manusia berubah, dari mental agraris menjadi mental industri.
Hermen Malik/foto lensabengkulu.com

Hermen mengatakan, masih ada kesempatan bagi kita untuk berubah, untuk menghindari ancaman krisis pangan di masa depan. Menurut Hermen, ada empat hal yang harus dilakukan.

Pertama, regulasi yang mampu mengatasi alih fungsi lahan. Regulasi itu berupa peraturan daerah di tingkat kabupaten/kota sebagai tindak-lanjut UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Kedua, partisipasi pengusaha besar untuk berinvestasi di sektor pangan;

Ketiga, peran pemerintah dalam mengontrol laju pertumbuhan penduduk, misalnya melalui program keluarga berencana; dan keempat, menunda usia perkawinan sehingga dapat mengurangi jumlah anak.

Namun yang tak kalah penting dan prinsip, saya kira, adalah soal pilihan politik pangan bangsa ini. Saya amini gagasan Hermen bahwa harapan atau optimisme di atas baru akan terwujud jika manusia mau merubah mentalitasnya. "Jangan pernah terpengaruh oleh rayuan bejat kaum kapitalis," kata Hermen (Halaman 53).

Mengutip Djoko Suseno dan Hempri Suyatna, Hermen menambahkan, agenda pembangunan pertanian ke depan, antara lain adalah:

1. Pembangunan pertanian harus diletakkan dalam perspektif pembangunan perdesaan secara utuh meliputi sektor primer, sektor sekunder atau komplementer, dan sektor tersier atau jasa. Agribisnis harus dijadikan sebagai paradigma utama pembangunan pertanian;

2. Pelaksanaan reforma agrarian yaitu land reform plus perangkat infrastruktur, jaminan hukum, kredit, akses terhadap jasa advokasi, akses informasi dan teknologi baru. Pembangunan pertanian harus mampu merubah struktur dan kultur petani;

3. Agenda kedaulatan pangan melalui beberapa capa seperti family poutry, penganekaragaman komoditas pertanian dan perlindungan produk dalam negeri dari serbuan impor pangan;

4. Pendekatan pemberdayaan; dan

5. Pembangunan Pertanian harus berbasis pada comparative advatage.

Maka sejatinya peringatan atau perayaan Hari Pangan Sedunia (HPS) yang jatuh pada tanggal 16 Oktober adalah momentum koreksi terhadap sistem atau politik pangan yang berlangsung selama ini.

Itu artinya, kita harus beralih haluan dari sistem kapitalisme ke sistem ekonomi Pancasila sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Yakni sistem ekonomi kerakyatan, ekonomi yang memberdayakan!

Joko Widodo saat masih menjabat gubernur DKI, menjadi salah seorang yg memberi catatan terhadap buku ini. Jokowi bilang begini: "Buku ini hadir di saat yang tepat, saat Indonesia dibayang-bayangi ketergantungan kepada pangan impor. Ide-ide dalam buku ini sangat realistis dan aplikatif, walaupun berasal dari pendekatan yang akademis. Para pembuat kebijakan pangan dan pertanian di pusat dan di daerah perlu membaca buku ini.

Nah, kita patut menunggu apakah perihal kedaulatan pangan yang diusung dalam buku mantan Bupati Kaur ini akan disinggung Jokowi sebagai presiden di HPS nasional yang dipusatkan di Kalimantan Barat  pada 18-21 Oktober 2018?
***

Komentar