China dan AS kini menjadi dua poros kekuatan ekonomi dunia. Bahkan
keduanya kini menjadi rival setelah masing-masing enggan mengalah dengan
kebijakan ekonomi luar negerinya masing-masing.
Presiden AS Donald Trump bahkan secara terbuka memaklumatkan 'perang dagang' dengan negeri tirai bambu itu. Terhadap Cina, AS menerapkan tarif atau bea masuk tinggi bagi barang impor asal Cina. Sebaliknya, Cina juga menerapkan kebijakan serupa.
Baca: AS-Cina di Ambang Perang Dagang
Presiden
Joko Widodo (Jokowi) juga melihat pertumbuhan ekonomi Cina yang terus
melaju. Jokowi membaca arah baru kekuatan ekonomi dunia yang sudah tidak
lagi didominasi Amerika Serikat dan sekutunya, tapi mulai perlahan
digerus Peking.
Namun, langkah memutus rantai ketergantungan ekonomi dengan AS tidaklah mudah. Jokowi tak mudah meniru sikap Sukarno yang dengan lantang menolak AS dengan Go to hell with your aids-nya itu.
Jokowi tahu cara Sukarno bisa memantik emosi AS dan sangat beresiko. Kalau salah jurus, bukan tidak mungkin AS akan bermanuver dalam konstestasi politik, Pemilu 2019.
Jika di masa peralihan Orde Lama (Sukarno) ke Orde Baru (Soeharto), AS melalui CIA ikut bermain, maka bisa saja dalam Pemilu 2019, AS juga akan ambil peran dalam upaya menggagalkan Jokowi tampil sebagai Presiden RI ke-8.
Karena itu, dalam rangka mewujudkan misi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dan merealisasikan proyek infrastruktur-nya, Jokowi bermain 'dua kaki': Tetap menjaga dan menjalin kerja sama ekonomi dengan AS melalui berbagai instrumen ekonominya, yakni IMF dan Bank Dunia; dan pada saat yang sama juga menjalin kerja sama ekonomi dengan Cina.
Jokowi kini tak hanya masih membuka ruang bagi IMF dan Bank Dunia, tetapi juga sudah berperan aktif dalam pembentukan lembaga keuangan skala dunia guna mengimbangi kekuatan lembaga keuangan klasik itu melalui pembentukan Asia Infrastructur Investmen Bank (AIIB) yang digagas Presiden Tiongkok, Xi Jinping.
Baca: AIIB, Penantang Baru Bank Dunia dan IMF dari Cina
Membaca artikel-artikel ekonomi tirto.id
membawa saya sampai pada kata setuju terhadap pernyataan Jokowi bahwa
tatanan ekonomi dunia harus didorong pada keseimbangan, kepada
keadilan.
Mengutip tirto.id, ini kalimat Jokowi: "Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh Bank Dunia, oleh IMF, dan oleh ADB (Bank Pembangunan Asia), adalah pandangan yang usang, yang perlu dibuang."
Maka, setelah mengemukakan masalah, solusi Jokowi: "Kita wajib membangun tatanan ekonomi dunia baru yang terbuka bagi kekuatan-kekuatan ekonomi baru. Kita mendesak dilakukannya reformasi arsitektur keuangan global untuk menghilangkan dominasi kelompok negara atas negara-negara lain."
Baca: "Dunia Baru"-nya Jokowi di Luar IMF-Bank Dunia itu adalah Tiongkok
Ekonomi Pancasila, Ekonomi Syariah
Di tengah derasnya perang sentimen pendukung Jokowi vs Prabowo, kita sesungguhnya digiring kepada debat yang tak substantif. Sebagai warga bangsa, saya masih menunggu perang itu dibawa ke ranah gagasan, ide.
Jika jurus mencapai keseimbangan ekonomi dunia yang dimainkan Jokowi itu berkelanjutan, kiranya tidak berhenti pada kedua poros utama itu saja: ekonomi AS yang berwatak kapitalis versus Cina yang berideologi komunis.
Keseimbangan itu tak melulu pada dua kaki, dua sumbu, pada dua poros. Keseimbangan juga terjadi pada tiga poros, tiga sumbu, tiga kaki yang sama tinggi, sama kuat, sama kokoh.
Indonesia, oleh Jokowi dan Prabowo, hendaknya masuk pada gagasan yang tak kalah hebat. Mereka mesti menawarkan, menganjurkan, bahkan menerapkan sistem ekonomi alternatif: ekonomi Pancasila dan atau ekonomi syariah.
Nah, soal detail operasionalnya menjadi tugas ahli-ahli atau pakar-pakar ekonomi yang ada di masing-masing kubu.
Saya, rakyat Indonesia, sangat menunggu.
Presiden AS Donald Trump bahkan secara terbuka memaklumatkan 'perang dagang' dengan negeri tirai bambu itu. Terhadap Cina, AS menerapkan tarif atau bea masuk tinggi bagi barang impor asal Cina. Sebaliknya, Cina juga menerapkan kebijakan serupa.
Baca: AS-Cina di Ambang Perang Dagang
Namun, langkah memutus rantai ketergantungan ekonomi dengan AS tidaklah mudah. Jokowi tak mudah meniru sikap Sukarno yang dengan lantang menolak AS dengan Go to hell with your aids-nya itu.
Jokowi tahu cara Sukarno bisa memantik emosi AS dan sangat beresiko. Kalau salah jurus, bukan tidak mungkin AS akan bermanuver dalam konstestasi politik, Pemilu 2019.
Jika di masa peralihan Orde Lama (Sukarno) ke Orde Baru (Soeharto), AS melalui CIA ikut bermain, maka bisa saja dalam Pemilu 2019, AS juga akan ambil peran dalam upaya menggagalkan Jokowi tampil sebagai Presiden RI ke-8.
Karena itu, dalam rangka mewujudkan misi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dan merealisasikan proyek infrastruktur-nya, Jokowi bermain 'dua kaki': Tetap menjaga dan menjalin kerja sama ekonomi dengan AS melalui berbagai instrumen ekonominya, yakni IMF dan Bank Dunia; dan pada saat yang sama juga menjalin kerja sama ekonomi dengan Cina.
Jokowi kini tak hanya masih membuka ruang bagi IMF dan Bank Dunia, tetapi juga sudah berperan aktif dalam pembentukan lembaga keuangan skala dunia guna mengimbangi kekuatan lembaga keuangan klasik itu melalui pembentukan Asia Infrastructur Investmen Bank (AIIB) yang digagas Presiden Tiongkok, Xi Jinping.
Baca: AIIB, Penantang Baru Bank Dunia dan IMF dari Cina
Mengutip tirto.id, ini kalimat Jokowi: "Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh Bank Dunia, oleh IMF, dan oleh ADB (Bank Pembangunan Asia), adalah pandangan yang usang, yang perlu dibuang."
Maka, setelah mengemukakan masalah, solusi Jokowi: "Kita wajib membangun tatanan ekonomi dunia baru yang terbuka bagi kekuatan-kekuatan ekonomi baru. Kita mendesak dilakukannya reformasi arsitektur keuangan global untuk menghilangkan dominasi kelompok negara atas negara-negara lain."
Baca: "Dunia Baru"-nya Jokowi di Luar IMF-Bank Dunia itu adalah Tiongkok
Ekonomi Pancasila, Ekonomi Syariah
Di tengah derasnya perang sentimen pendukung Jokowi vs Prabowo, kita sesungguhnya digiring kepada debat yang tak substantif. Sebagai warga bangsa, saya masih menunggu perang itu dibawa ke ranah gagasan, ide.
Jika jurus mencapai keseimbangan ekonomi dunia yang dimainkan Jokowi itu berkelanjutan, kiranya tidak berhenti pada kedua poros utama itu saja: ekonomi AS yang berwatak kapitalis versus Cina yang berideologi komunis.
Keseimbangan itu tak melulu pada dua kaki, dua sumbu, pada dua poros. Keseimbangan juga terjadi pada tiga poros, tiga sumbu, tiga kaki yang sama tinggi, sama kuat, sama kokoh.
Indonesia, oleh Jokowi dan Prabowo, hendaknya masuk pada gagasan yang tak kalah hebat. Mereka mesti menawarkan, menganjurkan, bahkan menerapkan sistem ekonomi alternatif: ekonomi Pancasila dan atau ekonomi syariah.
Nah, soal detail operasionalnya menjadi tugas ahli-ahli atau pakar-pakar ekonomi yang ada di masing-masing kubu.
Saya, rakyat Indonesia, sangat menunggu.
Komentar
Posting Komentar