Eka, begitu dia menyebutkan namanya walau belum sempat saya bertanya. Perempuan yang kutaksir berumur 45 tahun itu begitu antusias saat mengurai kisah hidupnya kepada saya yang sengaja mampir di warung kecilnya untuk makan siang.
Ibu Eka mengaku sudah tiga tahun terakhir menetap di Lebong. Sebelumnya dia tinggal mengontrak di rumah toko di Kota Bengkulu setelah kembali dari tanah rantau di Batam.
"Saya 12 tahun di Batam," sebut Bu Eka. Di Batam, Bu Eka adalah seorang pengusaha cateringan. Ia memasok makan pagi, siang, dan malam bagi beberapa perusahaan di sana.
"Usaha itu saya rintis dari bawah. Mula-mula 100 porsi, lambat laun meningkat hingga mencapai 1000 porsi setiap hari," kenangnya.
Bu Eka mengakui mereka menjadi orang melayu pertama yang sukses membeli rumah toko di kawasan strategis di Kota Batam.
Usahanya mulai surut setelah perusahaan induk yang memayungi usaha cateringannya diambil alih, dari semula pengusaha Singapura beralih ke pengusaha Cina.
"Biasanya tiap bulan ada pembayaran, tapi sejak diambil alih, pembayaran tagihan cateringan bisa tiga bulan sekali, bahkan enam bulan. Bahkan sampai kini masih ada invoice yang belum dibayarkan," ujarnya.
Lantaran tak kunjung dibayar, 50 karyawannya gusar. Mereka minta haknya dipenuhi. Bu Eka yang tidak tega melihat jerih payah anak buahnya sia-sia akhirnya memutuskan menjual aset-asetnya agar bisa membayar gaji semua karyawan.
"Ruko, rumah, mobil saya jual supaya bisa membayar keringat mereka. Saya tidak mau berhutang. Setelah semua terjual, saya dan suami memutuskan kembali ke Bengkulu," cerita Bu Eka.
Suami Bu Eka--yang tidak saya tanyakan namanya--adalah tenaga teknik di usaha perkapalan saat di Batam. Setidaknya ada dua proyek besar yang dia tangani sebelum akhirnya kembali ke Bengkulu.
"Kini suami saya bekerja di salah satu PLTA di Lebong," katanya. "Tapi proyeknya itu sudah mau selesai. Setelah ini kami belum tahu bagaimana. Di sini usaha sulit sekali berkembang," keluh Bu Eka.
Bu Eka adalah sosok perempuan pekerja. Jauh sebelum menjejak kaki di Batam, ia pernah bekerja di Jakarta. Dari sales marketing hingga pernah dua tahun sebagai sekretaris Rudi Wowor, aktor kawakan Indonesia.
"Saya lalu mengundurkan diri sebagai sekretaris beliau dengan alasan mau melanjutkan studi di Bengkulu," cerita Bu Eka. Waktu itu, kata dia, lagi panas-panasnya situasi politik nasional yang ditandai dengan tumbangnya Orde Baru. "Ya, kisaran 1997-1998," kenangnya.
Bu Eka diam. Tatapannya menerawang jauh. "Sekarang kepikiran lagi untuk memulainya dari bawah lagi. Mungkin mau kembali lagi ke Batam. Yang kami pikirkan masa depan anak-anak. Kalau kita sudah lah. Sudah pernah susah, pernah jaya. Ambil hikmahnya saja," cetus Bu Eka.
Anak sulungnya seorang perempuan kini menjadi mahasiswi di salah satu universitas ternama di Bengkulu. Dia mahasiswa lewat jalur undangan khusus. "Dia studi di jurusan Bahasa Inggris, FKIP," sebut Bu Eka.
Tentang jurusan itu, Bu Eka mengakui anaknya memang sudah pandai berbahasa asing itu sejak di Batam. "Dulu di Batam masuk sekolah internasional, jadi di sekolah pakai bahasa Inggris dan Mandarin. Saya sengaja masukkan ke sekolah internasional karena ternayat setelah saya hitung-hitung biayanya lebih murah dibanding sekolah negeri," alasan Bu Eka.
**
Begitulah perjalanan hidup. Bagai putaran roda. Kadang di bawah, kadang di atas. Bu Eka mengatakan, saat di atas siapa saja akan datang, mendekat dan terlihat baik. Namun saat terpuruk di bawah, banyak yang menjauh, meninggalkan kita.
"Yang nyata-nyata masih sanak saudara sendiri saja bisa nggak mau peduli. Justru yang bukan siapa-siapanya kita yang malah membantu. Teman yang kita bantu pun kadang menjadi orang yang menusuk kita. Begitulah hidup," tutupnya.
Ibu Eka mengaku sudah tiga tahun terakhir menetap di Lebong. Sebelumnya dia tinggal mengontrak di rumah toko di Kota Bengkulu setelah kembali dari tanah rantau di Batam.
"Saya 12 tahun di Batam," sebut Bu Eka. Di Batam, Bu Eka adalah seorang pengusaha cateringan. Ia memasok makan pagi, siang, dan malam bagi beberapa perusahaan di sana.
"Usaha itu saya rintis dari bawah. Mula-mula 100 porsi, lambat laun meningkat hingga mencapai 1000 porsi setiap hari," kenangnya.
Bu Eka mengakui mereka menjadi orang melayu pertama yang sukses membeli rumah toko di kawasan strategis di Kota Batam.
Usahanya mulai surut setelah perusahaan induk yang memayungi usaha cateringannya diambil alih, dari semula pengusaha Singapura beralih ke pengusaha Cina.
"Biasanya tiap bulan ada pembayaran, tapi sejak diambil alih, pembayaran tagihan cateringan bisa tiga bulan sekali, bahkan enam bulan. Bahkan sampai kini masih ada invoice yang belum dibayarkan," ujarnya.
Lantaran tak kunjung dibayar, 50 karyawannya gusar. Mereka minta haknya dipenuhi. Bu Eka yang tidak tega melihat jerih payah anak buahnya sia-sia akhirnya memutuskan menjual aset-asetnya agar bisa membayar gaji semua karyawan.
"Ruko, rumah, mobil saya jual supaya bisa membayar keringat mereka. Saya tidak mau berhutang. Setelah semua terjual, saya dan suami memutuskan kembali ke Bengkulu," cerita Bu Eka.
Suami Bu Eka--yang tidak saya tanyakan namanya--adalah tenaga teknik di usaha perkapalan saat di Batam. Setidaknya ada dua proyek besar yang dia tangani sebelum akhirnya kembali ke Bengkulu.
"Kini suami saya bekerja di salah satu PLTA di Lebong," katanya. "Tapi proyeknya itu sudah mau selesai. Setelah ini kami belum tahu bagaimana. Di sini usaha sulit sekali berkembang," keluh Bu Eka.
Bu Eka adalah sosok perempuan pekerja. Jauh sebelum menjejak kaki di Batam, ia pernah bekerja di Jakarta. Dari sales marketing hingga pernah dua tahun sebagai sekretaris Rudi Wowor, aktor kawakan Indonesia.
"Saya lalu mengundurkan diri sebagai sekretaris beliau dengan alasan mau melanjutkan studi di Bengkulu," cerita Bu Eka. Waktu itu, kata dia, lagi panas-panasnya situasi politik nasional yang ditandai dengan tumbangnya Orde Baru. "Ya, kisaran 1997-1998," kenangnya.
Bu Eka diam. Tatapannya menerawang jauh. "Sekarang kepikiran lagi untuk memulainya dari bawah lagi. Mungkin mau kembali lagi ke Batam. Yang kami pikirkan masa depan anak-anak. Kalau kita sudah lah. Sudah pernah susah, pernah jaya. Ambil hikmahnya saja," cetus Bu Eka.
Anak sulungnya seorang perempuan kini menjadi mahasiswi di salah satu universitas ternama di Bengkulu. Dia mahasiswa lewat jalur undangan khusus. "Dia studi di jurusan Bahasa Inggris, FKIP," sebut Bu Eka.
Tentang jurusan itu, Bu Eka mengakui anaknya memang sudah pandai berbahasa asing itu sejak di Batam. "Dulu di Batam masuk sekolah internasional, jadi di sekolah pakai bahasa Inggris dan Mandarin. Saya sengaja masukkan ke sekolah internasional karena ternayat setelah saya hitung-hitung biayanya lebih murah dibanding sekolah negeri," alasan Bu Eka.
**
Begitulah perjalanan hidup. Bagai putaran roda. Kadang di bawah, kadang di atas. Bu Eka mengatakan, saat di atas siapa saja akan datang, mendekat dan terlihat baik. Namun saat terpuruk di bawah, banyak yang menjauh, meninggalkan kita.
"Yang nyata-nyata masih sanak saudara sendiri saja bisa nggak mau peduli. Justru yang bukan siapa-siapanya kita yang malah membantu. Teman yang kita bantu pun kadang menjadi orang yang menusuk kita. Begitulah hidup," tutupnya.
Komentar
Posting Komentar