![]() |
Ratna Sarumpaet/foto Tribunnews.com |
Dalam kurun waktu sebulan terakhir mata dan pikiran sebagian publik tersedot oleh kasus penyebaran berita bohong alias hoax yang membawa Ratna Sarumpaet (RS), seorang seniman dan dikenal sebagai aktivis sosial, menjadi tersangka.
RS kini menjadi tahanan Polres Metro Jaya untuk menjalani proses penyidikan. Perempuan kelahiran Tarutung, 16 Juli 1949 itu dijerat Pasal 14 UU 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan UU ITE Pasal 28 juncto Pasal 45. Dia terancam hukuman 10 tahun penjara.
Istilah siber bully sendiri membawa saya kepada Monica Lewinsky (ML). ML adalah perempuan yang terkenal karena skandal seks atau affair-nya dengan Bill Clinton, mantan presiden Amerika Serikat. Kasusnya yang disebut sebagai Monicagate dan menyita perhatian sebagian dunia pada 1998.
Tentu yang kemudian membuat dia terpuruk adalah karena ia juga menjadi bulan-bulanan bagi sejumlah orang atau pihak yang mencemooh, meledek, atau merendahkannya dengan menjadikan dia bahan guyonan (jokes).
Maka usai gelombang pasang itu, kehidupannya berubah drastis. Perempuan kelahiran 23 Juli 1973 itu memilih mengasingkan diri pada 2005, terutama dari sorot media. ML pindah ke London, Inggris. Di sana ia menempuh studi dan berhasil menyandang gelar master dalam bidang Psikologi Sosial dari London School of Economics.
Kasus RS bermula dari cerita tentang penganiayaan. Cerita yang belakangan diakuinya sebagai karangan untuk menjawab pertanyaan anaknya setelah wajahnya tampak lebam-lebam usai menjalani operasi sedot lemak di RS Bina Estetika di Menteng, Jakarta Pusat pada 21 September 2018.
Sial, cerita RS ke anaknya menggelinding. Konstruksi cerita bohongnya menyebar hingga menyita perhatian tokoh politik nasional yang juga Calon Presiden RI, Prabowo Subianto. Karena menjadi salah seorang jurkam nasional tim Prabowo-Sandi, aksi simpati juga ditunjukkan Fadli Zon, wakil ketua DPR RI, serta sejumlah tokoh politik lainnya.
Sampai di situ, RS lalu menggelar konferensi pers pada Rabu (3/10/2018). Ia lantas mengakui telah berbohong terkait cerita penganiayaan yang sudah tersebar luas. Tak lama berselang, RS lalu ditangkap polisi saat hendak terbang ke Chile, pada Kamis malam (4/10/2019).
Pengakuan RS pun memantik respon beragam. Yang semula simpati dan mendukung RS tampak buang badan. Bahkan ada yang sampai minta maaf karena merasa bersalah setelah sempat percaya cerita RS dan bikin status di akun media sosialnya masing-masing.
Bila gelombang dukungan bagi RS mulai surut, arus balik yang menyudutkannya justru mengalir deras dan kencang. Gelombang pasang menghantam RS, terutama di media-media sosial. Entah oleh robot atau manusia, akun-akun medsos bernada hujat dan benci ke RS mengalir liar.
Bagaimana pun RS menerima statusnya sebagai tersangka. Bila biasanya dia garang di depan kamera, kini RS tampak banyak diam. Tentu dia tengah menahan rasa malu, menanggung beban psikologis yang entah kapan bisa habis.
Siber Bully
Di luar soal proses hukum yang harus dijalani RS, kita sesungguhnya tengah menyaksikan atau bahkan ikut serta menjadi pelaku dari sebuah fenomena dengan apa yang disebut sebagai siber bully (cyberbully) atau cyberharassment atau disebut juga online bullying.
Menurut kamus Wikipedia (https://id.wikipedia.org) cyberbully atau intimidasi dunia maya atau penindasan dunia maya adalah segala bentuk kekerasan yang dialami anak atau remaja dan dilakukan teman seusia mereka melalui dunia maya atau internet. Intimidasi dunia maya adalah kejadian manakala seorang anak atau remaja diejek, dihina, diintimidasi, atau dipermalukan oleh anak atau remaja lain melalui media internet, teknologi digital atau telepon seluler.
Intimidasi dunia maya dianggap valid bila pelaku dan korban berusia di bawah 18 tahun dan secara hukum belum dianggap dewasa. Bila salah satu pihak yang terlibat (atau keduanya) sudah berusia di atas 18 tahun, maka kasus yang terjadi akan dikategorikan sebagai kejahatan dunia maya atau pembuntutan dunia maya (atau sering disebut cyber harassment).
Bentuk dan metode tindakan intimidasi dunia maya beragam. Hal ini dapat berupa pesan ancaman melalui surel, mengunggah foto yang mempermalukan korban, membuat situs web untuk menyebar fitnah dan mengolok-olok korban hingga mengakses akun jejaring sosial orang lain untuk mengancam korban dan membuat masalah. Motivasi pelakunya juga beragam.Ada yang melakukannya karena marah dan ingin balas dendam, frustrasi, ingin mencari perhatian bahkan ada pula yang menjadikannya sekadar hiburan pengisi waktu luang.
![]() |
Monica Lewinsky/foto screenshot youtube Tedx |
Saat skandal itu mulai terkuak, ML segera menjadi incaran media massa. Ia menjadi pusat sorotan dan pembicaraan. Ada yang bilang, hampir sebagian dunia penasaran dengan sosoknya. Maka demi memuaskan pemirsanya, media pun mengulik semua hal tentang dia.
Tentu yang kemudian membuat dia terpuruk adalah karena ia juga menjadi bulan-bulanan bagi sejumlah orang atau pihak yang mencemooh, meledek, atau merendahkannya dengan menjadikan dia bahan guyonan (jokes).
Maka usai gelombang pasang itu, kehidupannya berubah drastis. Perempuan kelahiran 23 Juli 1973 itu memilih mengasingkan diri pada 2005, terutama dari sorot media. ML pindah ke London, Inggris. Di sana ia menempuh studi dan berhasil menyandang gelar master dalam bidang Psikologi Sosial dari London School of Economics.
Selama dalam 'pengasingan' ML menerima resiko atas masa lalunya. Ia harus tinggal berpindah-pindah. Reputasi kelamnya membuat ia juga sulit mendapat pekerjaan.
Belasan tahun setelah tenggelam akibat skandal itu, ML pun mulai percaya diri tampil ke publik pada 2014. Kisahnya menjadi materi esai yang ia tulis sendiri berjudul Shame And Survival.
Melalui pengalaman hidupnya, ML kini aktif mengkampanyekan gerakan anti-bullying. Ia memilih tampil ke publik setelah peristiwa kematian seorang mahasiswa bernama Tyler Clementi. Remaja 18 tahun ini bunuh diri akibat di-bully setelah rekaman dirinya mencium seorang pria tersiar di jagat maya.
Maka benang merah yang saya mau petik dari kasus RS adalah jangan sampai kita ikut terlibat sebagai tukang teror di jagat maya. Tidak cuma kepada RS, tetapi juga kepada siapa pun.
Biarlah RS menjalani proses hukum. Sebagai warganet, proses hukumnya yang dikritisi. Bukan ke pribadi RS itu an sich. Yang menduga ini sebagai permainan politik dalam kontetasi Pemilu 2019, pakailah nalar ilmiah untuk menguraikan dan membuktikannya.
Maka benang merah yang saya mau petik dari kasus RS adalah jangan sampai kita ikut terlibat sebagai tukang teror di jagat maya. Tidak cuma kepada RS, tetapi juga kepada siapa pun.
Biarlah RS menjalani proses hukum. Sebagai warganet, proses hukumnya yang dikritisi. Bukan ke pribadi RS itu an sich. Yang menduga ini sebagai permainan politik dalam kontetasi Pemilu 2019, pakailah nalar ilmiah untuk menguraikan dan membuktikannya.
Komentar
Posting Komentar