Suasana di areal kebun itu sungguh sudah jauh berubah. Saat terakhir kali saya bertandang ke sini, semak belukar masih rimbun dan akses jalan masuk masih setapak. Itu sekira 12 tahun yang lalu.
Kini sudah ada jalan aspal hotmix yang dibangun Agustus 2018 lalu. Panjang jalan sekitar 150 meter. Tapi jalan itu sudah membelah kebun seluas dua hektar itu. Di lahan kebun itu kini tumbuh rumah-rumah warga. Batang karet dan tanaman kebun lainnya yang dulu ramai di situ sudah jauh berkurang bahkan ada yang sudah hilang ditebang.
Sang pemilik kebun, Herman (lahir 1945), tengah duduk santai di depan teras pondok kebun yang kini sudah berubah fungsi menjadi rumah tinggal. Ketika kaki melangkah mendekat, ia tak lagi mengenali saya. Saya juga sempat ragu, apakah dia orang yang pernah saya jumpai belasan tahun yang lalu.
Setelah saya memperkenalkan diri, ingatannya segera pulih. Ia menunjukkan kehangatannya seperti biasanya. Ia bahkan membandingkan saya dengan belasan tahun lalu. "Sekarang kamu lebih kurus," ujarnya.
Iya, terakhir kali kami bersua, saya baru saja menjadi jurnalis di daerah ini. Saya bahkan sempat menulis satu artikel dari beliau. Ia bahkan ingat saya pernah merekam saat dia memainkan gitar tunggal (lagu Rejang).
Pak Herman adalah ayah dari teman karib saya semasa kecil. Namanya Siswanto. Kami karib sejak duduk di kelas satu SMP. Selain selalu berjalan bersama ke sekolah, kami juga duduk di meja yang sama. Di luar itu, kami memang tetangga-an di kampung.
Namun karena satu dan lain hal, Siswanto tak meneruskan sekolahnya. Saya lupa kapan persisnya, tapi dia memang stop di tengah jalan. Tapi perkawanan kami terus berlangsung hingga kini. Sis, begitu kami memanggilnya, kini tinggal di kecamatan yang lain. Petang itu, saya habisnya waktu lebih lima jam sekedar ngobrol dengan Pak Herman dan anak-anaknya yang sudah dewasa dan berkeluarga.
Iya. Di areal kebun yang sudah mulai berubah menjadi areal pemukiman itu, kini tinggal menetap tiga anak-anak Pak Herman. Dua di antaranya, laki-laki, membangun rumah sendiri di situ. Seorang lagi, perempuan, menetap bersama Pak Herman. Saya lupa berapa jumlah semua anak-anaknya. Hanya jumlah cucunya yang sempat saya tanya: 18 orang.
Tentu karena sudah lama tak bersua, kami membuka kenangan dengan mengulas cerita lama. Terkadang meloncat ke kondisi kekinian. Misalkan saja pekerjaan, tempat tinggal menetap, dan kabar keluarga dan kerabat.
Nah, bagian berikut ini yang menarik dan berkesan bagi saya. Sebab meski sudah berumur 40 tahun dan lama tinggal di daerah ini, soal ini baru saya ketahui setelah mendengarkan cerita Pak Herman malam itu (3/9/2018).
Ini tentang mengapa kerap dimaklumi bahwa uang yang didapatkan dari aktivitas tambang emas itu disebut sebagai uang panas atau dikonotasikan sebagai harta yang tidak tahan lama dus mudah hilang tanpa jejak.
Menurut Pak Herman, kondisi itu ditengarai sebagai karma dari kehidupan di dunia tambang emas (tradisional). Pak Herman yang semasa muda pernah menjadi penambang emas menyaksikan betul bagaimana orang-orang di lokasi tambang melakoni kehidupan hari demi hari demi menafkahi keluarga.
Di tambang, kata dia, orang-orang bisa melakukan apa saja demi mendapatkan emas. Atau sekedar hasil yang bisa membuatnya mampu bertahan hidup. Yang namanya maling, main tipu, atau sikut sana sini adalah hal yang biasa dan lumrah.
Belum lagi bagaimana kehidupan di tambang dan dalam lubang yang ia sebut sebagai sumber atau pemicu berbagai penyakit. Ada mercury; ada bahan kimia lainnya; ada debu atau serbuk serpihan batu yang dipecah; ada kotoran manusia.
"Bayangkan kalau kita sudah masuk ke dalam lubang di kedalaman 30 meter. Nggak mungkin kita keluar hanya untuk buah hajat atau kencing. Yah, dimana kita saat itu sedang berada, ya di situlah kita keluarkan," ungkap Pak Herman.
Ada banyak cerita tentang orang-orang yang berhasil mendapatkan emas dengan bobot tertentu. Namun, capaian itu tak banyak mencatatkan orang itu menjadi makmur atau kaya harta. Kalau pun kaya, biasanya tak lama. Harta itu hilang pelan-pelan.
Proses mendapatkan emas itu yang saya kira membuat uangnya panas. Akhirnya menguap tanpa bekas.
Seorang anak lelakinya yang ikut ngobrol menuturkan kisah orang-orang yang mencuri di areal tambang agar bisa mendapatkan uang. Yang dicuri tentu material yang tengah diolah menjadi emas. "Kalau soal makanan, jangan heran. Sudah biasa kalau kita lagi makan lalu ada orang asing tiba-tiba ikut makan bersama kita. Itu sudah biasa di tambang," ujar Pak Herman.
Karena kondisi itu, Pak Herman mengaku hanya sanggup tiga bulan melakoni kehidupan sebagai penambang emas. Ia lalu beralih haluan menjadi pedagang. "Saya memang tetap di tambang, tapi menjadi pedagang kebutuhan orang-orang di sana. Saya sempat dijuluki tukang pajak karena saban saya datang saya menagih bon, utang mereka dari membeli dagangan saya," kenang Pak Herman.
Karena kejamnya dunia tambang, Pak Herman juga tak pernah menganjurkan anak-anaknya menjadi penambang emas. "Saya juga tidak melarang. Kalau sekedar ikut supaya mereka merasakan pengalaman menambang emas, saya biarkan saja," ujarnya.
Terbukti, anak-anak Pak Herman memang sedikit berbeda dengan anak-anak di kampung kami pada zamannya itu. Jika anak-anak yang lain banyak yang putus sekolah dan memilih menjadi penambang emas, anak-anak Pak Herman justru bisa mengecap pendidikan hingga perguruan tinggi. Dua di antaranya menyandang gelar sarjana pendidikan. Selain teman saya Sis, anak-anaknya yang lain bisa menempuh sekolah paling rendah SMA.
Pak Herman kini tengah menikmati hari tua. Di umurnya yang sudah lewat 70 tahun, ia masih tampak bugar. Salah satu harta yang ia himpun semasa muda dan perkasa adalah areal lahan yang dulunya kebun atau ladang polikultur yang saya datangi itu. Sebagian lahan itu kini dia jual kepada orang-orang yang memang mau bermukim atau tinggal menetap di situ. Saya melihat ada tiga rumah tumbuh di sana.
Malam itu Pak Herman sudah lebih awal meninggalkan saya dan anaknya di ruang tamu. Jarum jam dinding sudah mendekati angka 10. Saya lalu pamit.
Kini sudah ada jalan aspal hotmix yang dibangun Agustus 2018 lalu. Panjang jalan sekitar 150 meter. Tapi jalan itu sudah membelah kebun seluas dua hektar itu. Di lahan kebun itu kini tumbuh rumah-rumah warga. Batang karet dan tanaman kebun lainnya yang dulu ramai di situ sudah jauh berkurang bahkan ada yang sudah hilang ditebang.
Sang pemilik kebun, Herman (lahir 1945), tengah duduk santai di depan teras pondok kebun yang kini sudah berubah fungsi menjadi rumah tinggal. Ketika kaki melangkah mendekat, ia tak lagi mengenali saya. Saya juga sempat ragu, apakah dia orang yang pernah saya jumpai belasan tahun yang lalu.
Setelah saya memperkenalkan diri, ingatannya segera pulih. Ia menunjukkan kehangatannya seperti biasanya. Ia bahkan membandingkan saya dengan belasan tahun lalu. "Sekarang kamu lebih kurus," ujarnya.
Iya, terakhir kali kami bersua, saya baru saja menjadi jurnalis di daerah ini. Saya bahkan sempat menulis satu artikel dari beliau. Ia bahkan ingat saya pernah merekam saat dia memainkan gitar tunggal (lagu Rejang).
Pak Herman adalah ayah dari teman karib saya semasa kecil. Namanya Siswanto. Kami karib sejak duduk di kelas satu SMP. Selain selalu berjalan bersama ke sekolah, kami juga duduk di meja yang sama. Di luar itu, kami memang tetangga-an di kampung.
Namun karena satu dan lain hal, Siswanto tak meneruskan sekolahnya. Saya lupa kapan persisnya, tapi dia memang stop di tengah jalan. Tapi perkawanan kami terus berlangsung hingga kini. Sis, begitu kami memanggilnya, kini tinggal di kecamatan yang lain. Petang itu, saya habisnya waktu lebih lima jam sekedar ngobrol dengan Pak Herman dan anak-anaknya yang sudah dewasa dan berkeluarga.
Iya. Di areal kebun yang sudah mulai berubah menjadi areal pemukiman itu, kini tinggal menetap tiga anak-anak Pak Herman. Dua di antaranya, laki-laki, membangun rumah sendiri di situ. Seorang lagi, perempuan, menetap bersama Pak Herman. Saya lupa berapa jumlah semua anak-anaknya. Hanya jumlah cucunya yang sempat saya tanya: 18 orang.
Tentu karena sudah lama tak bersua, kami membuka kenangan dengan mengulas cerita lama. Terkadang meloncat ke kondisi kekinian. Misalkan saja pekerjaan, tempat tinggal menetap, dan kabar keluarga dan kerabat.
Nah, bagian berikut ini yang menarik dan berkesan bagi saya. Sebab meski sudah berumur 40 tahun dan lama tinggal di daerah ini, soal ini baru saya ketahui setelah mendengarkan cerita Pak Herman malam itu (3/9/2018).
Ini tentang mengapa kerap dimaklumi bahwa uang yang didapatkan dari aktivitas tambang emas itu disebut sebagai uang panas atau dikonotasikan sebagai harta yang tidak tahan lama dus mudah hilang tanpa jejak.
Menurut Pak Herman, kondisi itu ditengarai sebagai karma dari kehidupan di dunia tambang emas (tradisional). Pak Herman yang semasa muda pernah menjadi penambang emas menyaksikan betul bagaimana orang-orang di lokasi tambang melakoni kehidupan hari demi hari demi menafkahi keluarga.
Di tambang, kata dia, orang-orang bisa melakukan apa saja demi mendapatkan emas. Atau sekedar hasil yang bisa membuatnya mampu bertahan hidup. Yang namanya maling, main tipu, atau sikut sana sini adalah hal yang biasa dan lumrah.
Belum lagi bagaimana kehidupan di tambang dan dalam lubang yang ia sebut sebagai sumber atau pemicu berbagai penyakit. Ada mercury; ada bahan kimia lainnya; ada debu atau serbuk serpihan batu yang dipecah; ada kotoran manusia.
"Bayangkan kalau kita sudah masuk ke dalam lubang di kedalaman 30 meter. Nggak mungkin kita keluar hanya untuk buah hajat atau kencing. Yah, dimana kita saat itu sedang berada, ya di situlah kita keluarkan," ungkap Pak Herman.
Ada banyak cerita tentang orang-orang yang berhasil mendapatkan emas dengan bobot tertentu. Namun, capaian itu tak banyak mencatatkan orang itu menjadi makmur atau kaya harta. Kalau pun kaya, biasanya tak lama. Harta itu hilang pelan-pelan.
Proses mendapatkan emas itu yang saya kira membuat uangnya panas. Akhirnya menguap tanpa bekas.
Seorang anak lelakinya yang ikut ngobrol menuturkan kisah orang-orang yang mencuri di areal tambang agar bisa mendapatkan uang. Yang dicuri tentu material yang tengah diolah menjadi emas. "Kalau soal makanan, jangan heran. Sudah biasa kalau kita lagi makan lalu ada orang asing tiba-tiba ikut makan bersama kita. Itu sudah biasa di tambang," ujar Pak Herman.
Karena kondisi itu, Pak Herman mengaku hanya sanggup tiga bulan melakoni kehidupan sebagai penambang emas. Ia lalu beralih haluan menjadi pedagang. "Saya memang tetap di tambang, tapi menjadi pedagang kebutuhan orang-orang di sana. Saya sempat dijuluki tukang pajak karena saban saya datang saya menagih bon, utang mereka dari membeli dagangan saya," kenang Pak Herman.
Karena kejamnya dunia tambang, Pak Herman juga tak pernah menganjurkan anak-anaknya menjadi penambang emas. "Saya juga tidak melarang. Kalau sekedar ikut supaya mereka merasakan pengalaman menambang emas, saya biarkan saja," ujarnya.
Terbukti, anak-anak Pak Herman memang sedikit berbeda dengan anak-anak di kampung kami pada zamannya itu. Jika anak-anak yang lain banyak yang putus sekolah dan memilih menjadi penambang emas, anak-anak Pak Herman justru bisa mengecap pendidikan hingga perguruan tinggi. Dua di antaranya menyandang gelar sarjana pendidikan. Selain teman saya Sis, anak-anaknya yang lain bisa menempuh sekolah paling rendah SMA.
Pak Herman kini tengah menikmati hari tua. Di umurnya yang sudah lewat 70 tahun, ia masih tampak bugar. Salah satu harta yang ia himpun semasa muda dan perkasa adalah areal lahan yang dulunya kebun atau ladang polikultur yang saya datangi itu. Sebagian lahan itu kini dia jual kepada orang-orang yang memang mau bermukim atau tinggal menetap di situ. Saya melihat ada tiga rumah tumbuh di sana.
Malam itu Pak Herman sudah lebih awal meninggalkan saya dan anaknya di ruang tamu. Jarum jam dinding sudah mendekati angka 10. Saya lalu pamit.
Komentar
Posting Komentar