Timnas Gagal Gegara Wartawan?

Hari-hari ini kita kembali menyorot PSSI, induk cabang olahraga sepak bola nasional. Ini setelah Timnas gagal total di ajang AFF 2018. Jangankan maju ke babak semifinal, melewati fase grup saja Garuda tak berdaya. Prestasi ambruk di lapangan, organisasi ditagih pertanggung-jawaban.

Publik memang tidak mungkin tahu secara detail dan persis apa yang terjadi di internal organisasi PSSI; bagaimana hubungan koordinasi dan komunikasi serta kerja sama antar pengurus bukan menu berita yang bisa kita simak saban hari sampai kelak ada prahara atau konflik di sana.

Karena itu tentu menarik mengkaji pernyataan Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, yang menyeret-nyeret media atau pers dalam soal kegagalan Timnas diajang AFF 2018 ini: Apakah dia hanya mencari kambing hitam atau sekadar pelampiasan karena sudah terpojok oleh tekanan publik? 

Atau kalau kita coba ikuti sebentar nalar Gubernur Sumatera Utara itu apakah pers memang patut dianggap ikut tanggung jawab? 

Saya coba memakluminya begini: bahwa relasi yang baik, positif, sebagaimana mestinya alias good news memang jarang sekali menjadi sajian menarik, berita yang akan mengundang banyak pembaca atau views bagi media.

Maka secuil apa pun informasi ketidak-beresan atau kabar miring, misalnya dalam soal sepak bola itu, akan menjadi target, buruan, bagi pekerja media. Sudah instingnya jurnalis menggali info yang semacam itu.

Mari kita lihat. Berita miring atau tak baik--memakai perspektif Pak Edy, yang diburu dan diulas media adalah soal nasib Luis Milla sebagai pelatih setelah Timnas U-22 hanya mampu menyumbang perunggu di ajang Sea Games 2017.

Berita dimulai antara lain soal gaji mantan bek timnas Spanyol itu yang belum dibayar selama tiga bulan atau sekitar Rp6 milyar. Ini digarap sebagai isu utama yang dianggap menunda kepastian Milla meneruskan kontraknya.

Berita menggelinding. Jadi konsumsi publik sepak bola tanah air. Pada akhirnya polemik dengan PSSI menempatkan Luis Milla sebagai pihak yang tampak seperti dibela pencinta sepak bola nusantara.

Bahkan berita soal gaji itu mendorong lahirnya gerakan mengumpulkan receh oleh netizen sampai ke viralnya hastag #EdyOut.

Walau PSSI akhirnya memenuhi kewajibannya, klimaks pemberitaan adalah PSSI justru menunjuk Bima Sakti menggantikan Milla. Alasannya, Milla tak kunjung datang ke Indonesia untuk membahas dan meneken kontrak.

Berita tak baik rupanya tak berhenti di soal gaji dan nasib Milla sebagai pelatih. Setelah menerima sikap tak simpatik sang ketua umum saat wawancara, media seolah mendapat amunisi untuk 'menyerang' PSSI (baca Edy Rahmayadi) dengan kekalahan anak asuh Bima Sakti di laga perdana kontra Philipina.

Jangan lupa bahwa 'konflik' wartawan vs Edy juga sudah terjadi sejak pemberitaan rangkap jabatan yang disandang Edy setelah terpilih sebagai gubernur Sumatera Utara. Yang paling viral adalah tayangan wawancara jurnalis tv Aiman Witjaksono dengan Edy; dan yang baru-baru ini saat Edy mengelus pipi seorang wartawan yang bertanya soal #EdyOut.

Tak cuma soal jawabannya yang mengundang perhatian, tetapi juga bagaimana reaksi dan cara Edy menanggapi pertanyaan wartawan itu yang dikesankan tidak pas. Gaya komunikasi mantan Pangkostrad itu justru menjadi amunisi berita yang menyudutkannya.

Jadi, dimana korelasi gagalnya timnas sebagai akibat ketidak-baikan wartawan menurut perpektif Edy? Saya tidak menemukannya. Bagi saya Edy hanya gagal fokus sehingga tidak bisa menjawab akar masalah dengan terbuka.




Komentar