RINDU ZAINAL

Ilustrasi Rindu Zainal/foto twetter


"Lihatlah ke sebelah kanan sebentar. Iya, itu lah dia," kata Zainal sembari pelan membaringkan tubuh ringkihnya di atas dipan beralas kasur tipis berwarna merah.

Berhijab. Sosoknya gemuk. Itulah sepintas gambaran sosok perempuan yang dimaksud Zainal agar saya berkenan melihatnya. Perempuan itu adalah istrinya yang sudah berpulang beberapa tahun yang lalu. "Saya yang di belakang," timpal Zainal.

Setelah bilang pamit. Saya lalu melangkah menuju pintu utama rumah Zainal. Daun pintu saya tarik dari luar. Saya biarkan si kakek istirahat. Ia sudah lelah. Hampir dua jam sebelumnya saya menjadi pendengarnya yang baik.

Perkenalan saya dan si kakek baru hitungan hari. Pertemuan kami tadi adalah kali kedua. Sejak memenuhi perintah tugas di kantor yang baru ini, mantan garim desa itu tampaknya sudah mengamati gerak-gerik saya dari balik jendela kaca rumah yang persis di samping kantor dimana saya bekerja.

Maka setelah dia tahu nama saya, dia suka-suka saja setengah berteriak memanggil saya agar merapat ke muka pintu masuk rumahnya. Di atas kursi usang beralas bantal tipis, tubuh kurusnya bersandar.

"Kalau ke sini, mampirlah," pinta Zainal di kali pertama kami berjabat tangan. Ia sungguh-sungguh dengan permintaan itu. Maka ketika hari ini dia melihatku sendiri di ruang kerja, dari tempat serupa kami bersua, ia memanggil saya setengah teriak.

Saya taksir umur si kakek sudah kepala tujuh. Namun suaranya masih lantang. Kata-katanya jelas. Ingatannya masih cukup tajam. Giginya masih ramai. Hanya kakinya yang sudah tak sanggup menopang tubuhnya untuk berdiri.

Zainal bercerita banyak sekali selama sekitar dua jam itu. Suaranya lirih, nyaris terbata-bata kala mengenang istri, anak, dan cucu yang tak ada di sampingnya. Namun suara lantangnya tegas kala menguraikan prinsip-prinsip hidup. Nada amarah membuncah menyoal perilaku sombong, serong, dan tak terpuji lainnya oleh orang-orang yang dikenalnya.

"Kamu masih muda. Kamu harus baik supaya tidak hilang kepercayaan," nasehatnya.

"Saya pernah dinasehati guru waktu sekolah. Jangan sia-sia supaya tidak hilang. Saya tak paham artinya waktu itu. Tapi perjalanan hidup membuat saya paham maknanya sungguh mendalam," kenang Zainal.

"Saya tak bermaksud sombong, ya. Saya cuma menuturkan kehidupan yang sudah saya jalankan. Hidup itu harus punya prinsip. Pegang lah," Zainal kasih petuah yang sudah manjur mambawa dua cucunya lulus tes tentara.

Zainal mulai menggeser kursinya. Kali ini bukan sekedar membuat nyaman. Ketika dia minta saya membantu, saya mengerti dia mau undur. "Tariklah ke belakang," ujarnya saat saya sudah memegang bahu kursi dari belakangnya.

Kedua tangan saya meraih setengah tubuhnya. Saya angkat dari duduknya. Menjelang pukul 16.30 itu, saya biarkan Zainal menghabiskan sisa petang di pembaringan. Zainal masih merindu sang istri. Ia sebutkan namanya, tapi saya lupa mengingatnya.


Komentar