Kolam Pemandian Air Hangat Lemeu dan Cerita Hampir 40 Tahun yang Lalu

Kolam Pemandian Air Panas di Desa Lemeu
Cuaca mendung sore itu tak mengurangi antusiasme saya untuk datang dan melihat sendiri tempat mandi yang top disebut warga Kolam Pemandian Air Panas Desa Lemeu. Walau pernah sekilas melihat wujudnya di media sosial, namun menjejak kaki sendiri ke te-ka-pe rasanya akan jauh lebih memuaskan rasa penasaran.
Tidak sulit mencapai lokasi. Akses jalan menuju kolam pemandian memang mendukung. Setelah masuk Desa Lemeu, kolam akan kita capai hanya dalam hitungan menit. Lokasinya hampir di ujung desa jika pengunjung datang dari arah Muara Aman-Desa Tangua. Atau jika kita berangkat dari Pasar Muara Aman, pusat Kota Muara Aman, jarak tempuhnya hanya sekitar 4,5 kilometer atau sekitar 20 menit perjalanan dengan kendaraan bermotor.
Motor matic yang kami pacu baru saja melintasi jembatan. Setelah tiba di jalan menikung ke kiri, laju kendaraan diarahkan ke badan jalan sebelah kanan. Itulah jalan masuk utama ke lokasi kolam. Jalannya belum diaspal, masih tanah berbatu. Tapi hanya sepanjang sekitar 20 meter. Setelah itu roda motor akan menggilas jalan beton hingga parkir di dekat kolam.
Saat kami tiba, puluhan pengunjung sudah ramai di dalam kolam. Yang banyak anak-anak dan remaja. Anak-anak riuh saling berlomba menaiki waterboom mini di tengah kolam seluas sekitar 200 meter persegi itu. Setelah berhasil naik, mereka juga berebut meluncur lagi via perosotan ke kolam. Ada juga yang terjun bebas dari sisi kiri kanan arena permainan.
Yang sudah remaja atau ABG, berkumpul mengelompok di bagian sudut kolam. Satu dua pamer skil: lompat ke kolam sembari salto. Orang dewasa memilih berdiri di pinggir kolam sedalam satu meter itu. Tak banyak yang ikutan nyebur. Mungkin karena belum ada tempat salin pakaian ganti atau sekedar membilas badan setelah mandi, mereka lebih memilih memantau saja anak-anak yang menikmati air kolam yang hangat dan jernih. Sementara saya segera beraksi jeprat-jepret pakai smartphone. Hanya sebentar lalu rintik hujan mulai jatuh.
Gemuruh di langit menyusul setelah kilatan petir tiba-tiba hadir. Tapi kaki enggan membawa badan pergi meminggir. Saya masih penasaran dari mana sumber air hangat kolam pemandian yang dibangun dengan dana desa ini. Oleh anak muda yang saya tebak warga setempat, saya ditunjukkan lokasi asal muasal air kolam. Rupanya persis di dalam kebun karet. Lokasi kebun ada di kaki Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Warga menyebutnya Tebo Panjang.
Kami pacu motor menuju kebun yang ditunjuk si anak muda. Masuk jalan setapak, tarikan gas meninggi agar bisa melaju di jalan menanjak dan berbatu dibalut lumut hijau tipis.


Medan jalan setapak kian sulit ditaklukkan. Maklum, ini motor dirancang untuk jalan mulus beraspal, bukan untuk medan terjal berbatu. Motor lalu kami tinggalkan di pinggir jalan. Sisa tujuan kami gapai berjalan kaki. Tiga menit kami sampai di kolam kecil. Kedatangan kami disambut pemuda-pemudi yang tengah berendam di kolam alam buatan sekitar 25 meter persegi.
Kolam inilah salah satu sumber air yang membanjiri kolam dan areal sawah di bagian hilir. Air tampak keluar begitu saja dari dalam tanah yang berbatu. Airnya hangat, bukan panas. Rupanya bening, tidak berbau belerang. “Sedikit asam, bang,” cetus rekanku yang sengaja menguji rasa airnya. Air itu dikumur-kumurnya lalu disembur.
Salah satu sumber air hangat yang mengaliri kolam pemandian, termasuk areal sawah dan kolam ikan
Tak satu pun pengunjung yang kami jumpai bisa menjelaskan mengapa air di kaki gunung itu hangat. Tak ada tanda-tanda alam yang mencirikan ada kawah gunung api, misalnya, di sekitar lokasi. Tumbuhan hijau seperti semak belukar, pohon karet, durian, kopi, dan jengkol tumbuh merimbun di lahan kebun seluas lebih satu hektar itu. Semakin ke kaki bukit, hanya rimba hijau tumbuhan dan pohon liar yang tampak tumbuh subur.
Saya lantas ingat cerita seorang tokoh masyarakat di Desa Tangua. Pak Ca’il panggilannya. Kalau nama asli dan lengkapnya, belum sempat saya tanya. Dia mantan kepala desa. Pak Ca’il adalah salah satu perintis yang memanfaatkan air hangat dari Tebo Panjang untuk keperluan sehari-hari.
“Waktu kami mulai bikin pipa supaya airnya bisa sampai ke desa, kami dicibir. Dikira mustahil. Nggak mungkin,” kenang Pak Ca’il saat kami berbincang di suatu sore di bulan Januari 2019. Kini, tak kurang dari 60 kepala keluarga di Desa Tangua, kata Pak Cail, menggunakan air hangat alami untuk mandi, mencuci dan lain-lainnya.
Kisah Hampir 40 Tahun Lalu
Sebelum Pak Ca’il dan tetangganya mengalirkan air hangat sampai ke pemukiman, pernah ada seorang asing yang datang ke Desa Tangua. Seingat Pak Ca’il orang Belgia. Orang itu sengaja datang untuk mencari tahu sumber panas yang membuat air keluar hangat dari perut bumi.
“Waktu itu, sekitar tahun 70-80 an, saya dan beberapa warga ikut mengantarkan. Kami bertugas menebas semak belukar, membuka jalan. Orang itu mengecek air dan sumber panasnya,” kata Pak Ca’il.
Setelah menunaikan misi, si orang asing bilang tak ada gunung berapi di sekitar lokasi. Air yang hangat itu, cerita Pak Ca’il dari orang asing itu, disebut sebagai akibat air yang melintasi batu yang panas di dalam tanah.
“Orang itu bilang, batunya bisa untuk batu gosok, untuk menyetrika pakaian. Entah bagaimana cara nyimpan panasnya. Dia juga bilang ini potensi kalau dikembangkan. Bisa jadi objek wisata,” kenang Pak Ca’il.
“Itu sudah lama sekali, ya pak. Baru kini ada realisasi,” sambut saya ketika kami berbincang lagi untuk kesekian kali. Kalau orang Belgia itu mencetuskan di tahun-tahun 80-an, itu artinya sudah hampir 40 tahun yang lalu, bukan?
Tapi pertanyaan saya belum terjawab. Kalau tak ada potensi gunung berapi, lalu panas yang membuat air tetap hangat sampai ke rumah-rumah penduduk itu dari mana? Karena apa?
Menurut wikipedia eksiklopedia bebas (wikipedia.org), mata air panas atau sumber air panas adalah mata air yang dihasilkan akibat keluarnya air tanah dari kerak bumi setelah dipanaskan secara geothermal atau panas bumi.
Air yang keluar suhunya di atas 37 °C suhu tubuh manusia, namun sebagian mata air panas mengeluarkan air bersuhu hingga di atas titik didih. Di seluruh dunia terdapat mata air panas yang tidak terhitung jumlahnya, termasuk di dasar laut dan samudra.
Itu penjelasan yang, sementara, bisa diterima (setidaknya oleh saya). Pasalnya, Lebong memang punya potensi panas bumi. Bahkan sudah menjadi salah satu sumber energi untuk pembangkit listrik, yakni di Hululais Kecamatan Lebong Selatan.
Orang Belgia atau Polandia?
Sekali waktu, Pak Ca’il menyebut orang asing tadi asal Polandia. Entah beliau lupa, ragu-ragu, atau latah saja, saya sempat ragu yang mana yang benar: orang Belgia (seingat saya dipertemuan pertama) atau orang Polandia, yang belakangan dia sebut.
Sekali lagi, artikel di wikipedia membawa saya kepada informasi penting, yang baru kini saya ketahui. Kata “spa” yang dekat dengan kegiatan mandi air panas, rupanya merujuk ke nama sebuah tempat di Belgia. Spa terletak di bagian selatan, tepatnya di Provinsi Leige.
Dalam buku SPA (Pengetahuan, Aplikasi, dan Manfaat) karangan Dr. Kusumadewi Sutanto, M.Pd dan dr. MMV Lianywati Batihalim, MS., Sp.Ok.,M.Biomed terbitan Gramedia (2015), disebutkan spa merujuk nama desa kecil di Belgia. Spa disebut menjadi tempat pertama yang dikenal memiliki sumber-sumber air panas yang berkhasiat menyembuhkan.
Sedikit informasi itu membawa saya kepada kesimpulan bahwa orang asing atau warga negara asing yang dimaksud Pak Ca’il itu bukan orang Polandia, tapi Belgia. Boleh jadi, kemasyuran spa di Belgia itu yang menjadi rujukan mengapa orang asing yang datang ke Lemeu itu mencetuskan air hangat yang dia cek punya potensi wisata.

Komentar