Ribuan DAS Rusak, Negara Rugi Ratusan Triliun Tiap Tahun

Jakarta, CNBC Indonesia- Indonesia memiliki lebih dari 17.000 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya pernah menyatakan bahwa dari 17.000 DAS tersebut, setidaknya 2.145 DAS perlu dipulihkan.

Sebelum beranjak lebih jauh, perlu dipahami bahwa definisi DAS sangat berbeda dengan definisi sungai. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2011 tentang sungai, sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.

Sementara itu, definisi DAS mencakup wilayah yang lebih luas lagi. Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Kehutanan no. 42 tahun 2009 tentang Pola umum, kriteria dan standar pengelolaan DAS terpadu, DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami.

Sehingga, bicara mengenai degradasi DAS tidak terbatas pada pencemaran sungai oleh limbah rumah tangga, industri, dan pertanian saja. Tetapi juga kerusakan lain seperti penyusutan luas hutan, kerusakan kawasan lindung, dan erosi lahan kritis.

Degradasi DAS tidak bisa dibiarkan berlarut-larut mengingat fungsinya sebagai daerah tangkapan air yang berperan penting menyediakan kebutuhan air bagi manusia. Lebih dari itu, menurut World Agroforestry Centre, DAS juga berperan dalam menjaga lingkungan termasuk menjaga kualitas air, mencegah banjir dan kekeringan saat musim hujan dan kemarau, dan mengurangi aliran massa (tanah) dari hulu ke hilir.

Berdasarkan kajian Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerusakan DAS menjadi salah satu pemicu utama penyebab bencana di Indonesia, dari mulai banjir hingga longsor. 

Uniknya, bencana hidrometeorologi (seperti banjir dan longsor) merupakan bencana paling dominan di Indonesia, dengan porsi sebesar 80%. BNPB juga menambahkan bahwa dampak ekonomi bencana tersebut mencapai rata-rata Rp 30 Triliun per tahun, itu di luar kerugian korban jiwa.

Bukan hanya dari sisi bencana, pencemaran air sungai juga dapat menyebabkan akses air yang kurang layak bagi masyarakat Indonesia. Ditambah akses sanitasi yang juga masih minim, tentu saja masyarakat Indonesia terpapar risiko penyakit yang luar biasa, misalnya diare. Menurut World Health Organization (WHO), 100.000/tahun anak Indonesia meninggal karena diare, dan terdapat 120 juta kejadian penyakit setiap tahunnya karena air dan sanitasi yang buruk. 

Pada Oktober 2016, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang P.S. Brodjonegoro juga menyampaikan bahwa: "Sepertiga anak balita Indonesia mengalami stunting, atau gangguan pertumbuhan waktu masa kecilnya, tidak hanya karena gizi buruk, tetapi juga karena buruknya sanitasi dan pemenuhan air bersih". Kondisi ini cukup berisiko terutama jika dikaitkan dengan bonus demografi yang dimiliki Indonesia. 

Dalam kajian lain, studi dari Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan 2,4% dari keseluruhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar US$ 6,3 miliar (sekitar Rp 86,84 triliun) tiap tahun karena akses air, sanitasi, dan higiene yang buruk. 

Selain itu, Bank Dunia juga menambahkan setiap tambahan konsentrasi pencemaran Biological Oxygen Demand (BOD) sebesar 1 mg/liter pada sungai, akan meningkatkan biaya produksi air minum sekitar Rp 9,17 per meter kubik.

Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia sudah mengidentifikasi 108 DAS yang dinilai kritis. Namun, sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, pemerintah memprioritaskan 15 DAS prioritas yang akan dipulihkan terlebih dahulu. 

Sebanyak 15 DAS prioritas untuk dipulihkan, enam DAS di antaranya berada di Pulau Jawa, yakni Citarum, Ciliwung, Cisadane, Serayu, Bengawan Solo, dan Brantas. Sisanya tersebar di Pulau Sumatera meliputi DAS Asahan Toba, Siak, Musi, Way Sekampung, dan Way Seputih; DAS Moyo di Nusa Tenggara Barat; DAS Kapuas di Pulau Kalimantan; serta DAS Jeneberang dan Saddang di Pulau Sulawesi.

Tidak hanya DAS, pemerintah Indonesia juga telah menetapkan 15 danau prioritas nasional untuk dibenahi dan dikembangkan. S
Menurut Bambang Brodjonegoro, 15 danau yang diproritaskan tersebut mengalami tingkat kerusakan kritis sehingga menjadi prioritas nasional. Danau-danau tersebut antara lain Danau Rawa Pening di Jawa Tengah, Rawa Danau di Banten, Danau Batur di Bali, Danau Toba di Sumatera Utara, Danau Kerinci di Jambi, Danau Maninjau di Sumatera Barat, Danau Poso di Sulawesi Tengah, Danau Cascade Mahakam-Semayang.

Kemudian Danau Melintang dan Danau Tondano di Sulawesi Utara, Danau Tempe dan Danau Matano di Sulawesi Selatan, Danau Limboto di Gorontalo, Danau Sentarum di Kalimantan Barat, Danau Jempang di Kalimantan Timur, dan Danau Sentani di Papua. 

Sebagai penutup, jika ingin menghindari kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah tiap tahunnya, kerusakan DAS dan danau yang terjadi secara terus menerus harus bisa dipulihkan. Namun tidak hanya terbatas di pemulihan, pemerintah juga perlu mulai menerapkan penataan ruang yang mengakomodir kebutuhan konservasi dan ekonomi secara bersamaan, dan menghasilkan alokasi tata ruang dan pembangunan kawasan DAS dan danau yang berkelanjutan. Tentu saja ikhtiar pemerintah tersebut harus didukung oleh peran serta kelembagaan lokal, kelompok pemerhati lingkungan, organisasi masyarakat, dan pihak swasta. 
(gus/gus)

sumber: 
https://www.cnbcindonesia.com diakses 07 Maret 2019

Komentar