Corona, Pilkada dan Politik Daerah

Ilustrasi/Sumber Foto: Twetter KPU_ID https://twitter.com/KPU_ID/status/1245182996992253952/photo/1


WABAH corona benar-benar membawa bencana. Tak cuma merusak rencana penyelenggaran program pembangunan yang sudah ditetapkan, COVID-19 kini juga telah mengacau tahapan Pemilu Serentak.

Sudah tersosialisasi bahwa Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020 dijadwal 23 September. Namun gara-gara corona, Pilkada mundur tampaknya sudah pasti dan tinggal disahkan.

Pilihan menunda Pilkada demi keselamatan manusia memang tak bisa ditawar. Nyawa lebih berharga dari sekedar hajat politik. Pemilik hak suara lebih berdaulat ketimbang urusan kontestasi yang tentatif.

Jika Pilkada benar-benar ditunda, tentu ada ruang yang kian terbuka bagi bakal kandidat mematangkan konsolidasi. Tak cuma menakar pasangan terbaik, tapi juga mengukur medan pertarungan secara lebih apik.

Tentu saja rentang waktu yang kian panjang itu berimplikasi dengan makin tingginya cost alias biaya politik yang harus ditanggung bakal calon.

Yang siap lahir bathin, ini tak jadi soal. Tapi bagi yang bermodal sesuai jadwal Pilkada semula, tentu harus bersiasat supaya amunisi tak habis di tengah jalan. Kalau tak mau tumbang.

Wabah corona sendiri bisa bermakna ganda. Pertama, ia membatasi cost kandidat karena ada larangan kumpul-kumpul. Kalau ngeyel bisa pidana. Otomatis, sang balon tak perlu keluar banyak cost politik buat even keramaian bertajuk konsolidasi atau sosialisasi.

Kedua, corona malah menguji sense of crisis para kandidat. Maksudnya, langkah-langkah atau aksi-aksi konkrit mereka dalam mengatasi bencana non-alam ini akan dinilai publik.

Aksi yang tak substantif, hanya intrik bakal dicibir sebagai hanya pencitraan. Politik kacangan. Kaleng-kaleng, kata anak zaman now.

Sementara yang sungguh tepat dan berdampak tentu bisa diapresiasi sebagai barometer dan kualitas kepemimpinan sang balon. Ia mensyaratkan politik tanpa basa-basi. Ia adalah perilaku yang tak semalam jadi.

Bagaimana mengujinya? Kita bisa meninjau kualitas kepemimpinan balon, antara lain, lewat pernyataan dan responnya soal berbagai isu publik. Salah satunya COVID-19.

Melalui saluran media massa sejatinya kita bisa memantau apa yang dia suarakan. Apa yang dia kerjakan. Apa yang dia prioritaskan. Ini kalau dia adalah petahana atau sosok yang sedang memegang tampuk kekuasaan.

Kalau dia bukan incumbent atau pemangku jabatan di pemerintahan? Kita pantau atau cek saja dimana sosoknya saat wabah merambah. Apakah dia peduli? Apakah dia masa bodoh? Apakah dia ikut panik? Minimal dia bersuara lah selayaknya (bakal calon) pemimpin.

Apakah ketika elit hari-hari ini bicara soal pangkas anggaran demi melawan wabah coronavirus bisa dibaca dalam konteks kualitas pemimpin? Ah, nggak perlu dijawab!

Yang saya rasakan dalam konteks lokal Bengkulu adalah aji mumpung. Semua aspek, semua lini, semua kemungkinan, semua sumber daya dikerahkan tanpa jarak dengan kepentingan politik Pilkada.

Sila berdalih. Tapi realitasnya begitu.

Mau contoh? Kalau minta contoh, itu namanya pura-pura bodoh. Minta bukti? Tangkap lah dulu si kentut.

Jadi tunaikan saja tanggung jawab dan kewajiban yang dimandatkan. Bedakan mana urusan publik, mana interest pribadi dan kelompok atas nama apa pun.

Komentar