Menimbang Koperasi vis a vis BUMDes Bagi Tambang Tradisional



Bagan Jenis Usaha BUMDes/sumber: poros.id

DI awal Oktober 2019 lalu aktivitas warga menambang pasir dan batu di aliran Sungai Uram, Kecamatan Uram Jaya tiba-tiba menjadi sorotan. Pemicunya, laporan salah satu lembaga swadaya masyarakat ke Polda Bengkulu yang menyebut ada dugaan pelanggaran di bidang pertambangan dan atau dugaan pelanggaran di bidang lingkungan hidup di sepanjang aliran sungai tersebut. 

Jauh sebelum itu, aktivitas para penambang emas tradisional atau dalam kaca mata hukum disebut sebagai penambang emas tanpa izin (peti) juga menuai masalah karena bersinggungan dengan wilayah izin tambang yang sudah dikantongi perusahaan. Atau lantaran masuk kawasan terlarang: hutan lindung atau TNKS.

Masuk perut bumi demi sesuap nasi sejatinya sudah menjadi kegiatan ekonomi masyarakat Lebong. Sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun. Turun temurun. Geliatnya juga naik-turun.

Sebagian besar penambang melakoninya sebagai mata pencarian pokok dan alternatif, sembari menunggu panen hasil pertanian. Lebih-lebih di masa ekonomi mencekik: panceklik. Tapi segelintir orang memang menjadikannya sebagai ladang usaha demi laba berlipat ganda.

Sebuah penelitian di tahun 2017 mengungkap 80 persen masyarakat Desa Lebong Tambang, Kecamatan Lebong Utara, misalnya, bermata pencaharian di bidang pertambangan. Usaha menambang emas tanpa izin dilakukan karena tidak ada pilihan pekerjaan yang lain.

Saat ini, selain di Desa Lebong Tambang, aktivitas menambang emas bisa dijumpai di wilayah Kecamatan Pinang Belapis. Namun, kegiatan memperolah emas pada tahapan penyaringan dengan tromol atau gelundung kini sudah menyebar hingga ke areal pemukiman. Tak cuma di dua kecamatan Lebong Utara dan Pinang Belapis, tapi juga Amen, Uram Jaya, dan lainnya.

Adapun mengeruk pasir di sungai bisa jadi mulai menggeliat sejak Lebong gencar membangun pasca dimekarkan sebagai kabupaten. Aktivitas penambang pasir dengan cangkul atau alat sekadarnya bisa dengan mudah dijumpai di aliran Sungai Ketahun, Sungai Uram atau sungai yang ada pasirnya, meski jumlahnya tak seberapa.

Mengangkut pasir dan batu dari sungai ini meningkat terutama di 'musim proyek', yakni ketika pekerjaan fisik yang menggunakan material pasir dan batu mulai berjalan. Baik yang didanai APBD maupun dibiayai APBN. Belakangan juga didongkrak adanya proyek yang ditanggung Dana Desa.

Usaha rakyat, baik pertambangan emas maupun bahan galian golongan C di atas, memang sudah berkali-kali difasilitasi pemerintah daerah agar tidak bermuara pada konflik atau delik hukum. Pemerintah daerah tentu berkepentingan melindungi warganya. Namun di sisi lain, hukum juga harus ditegakkan.

Bagi Pemerintah Kabupaten Lebong, upaya melegalkan usaha-usaha tradisional itu kini terbentur kewenangan. Pasalnya, urusan energi dan pertambangan sudah menjadi ranah pemerintah provinsi. Ini menyusul terbitnya UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang berlaku mulai Oktober 2016.

Penulis masih ingat di tahun 2017 lalu, sejumlah jurnalis di Lebong membuka seminar untuk membahas solusi bagi pertambangan emas tradisional atau yang dilabel PETI itu. Hadir sebagai narasumber Wakil Bupati Wawan Fernandez dan Ketua DPRD Teguh Raharjo EP dan dihadiri ratusan penambang. Seminar berlangsung di Aula Pemda Lebong di Tubei.

Saat itu Teguh Raharjo menyatakan, DPRD Lebong sudah berinisiatif menyusun rancangan peraturan daerah untuk menjadi payung hukum penambang emas rakyat. Namun, usaha itu menemui kendala. Selain belum diaturnya soal wilayah izin pertambangan atau WIP dalam Perda RTRW sebagai prasyarat, langkah dewan itu juga harus terhenti dengan berlakunya UU 23/2014.


Menimbang BUMDes vs Koperasi

Asisten III Setda Lebong Dalmuji Suranto saat Rapat Pengendalian dan Pengawasan di Bidang Pertambangan, Selasa (19/11/2019), di Ruang Bina Praja Pemkab Lebong, membuka wacana melibatkan Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes sebagai lembaga untuk membuat usaha tambang pasir menjadi aktivitas yang legal.

Sebelumnya, Kepala Bagian Ekonomi dan Pembangunan Setda Lebong Gusrenaldi mengawali solusi bagi legalitas usaha tambang (pasir) tradisional itu melalui koperasi. "Hasil koordinasi saya dengan ESDM Provinsi, katanya bisa dengan membentuk koperasi," ujarnya.

Sayang, pihak ESDM Provinsi yang diundang sebagai narasumber tak hadir, sehingga diskusi solutif pun tak mengerucut.

Penulis mencoba menimbang keduanya: kalau usaha tambang emas dan galian pasir/batu secara konvensional itu dikaji legalisasinya lewat pendirian koperasi (produksi), maka pekerjaan rumahnya memang dimulai dari nol. Yakni mengikuti mekanisme dan tahapan-tahapan pembentukan sebuah koperasi.

Sementara jika dengan BUMDes, pengelola BUMDes tinggal merevisi AD/ART dalam Musyawarah Desa agar bisa menambah pasal unit usaha, yakni pertambangan. Setelah itu adalah tugas Pemkab Lebong dan ESDM Provinsi untuk mendampingi dan memastikan agar unit usaha pertambangan itu bisa memenuhi ketentuan. Baik syarat administrasi maupun dokumen pendukung lainnya, sehingga dalam operasional nanti bisa dipastikan tidak merusak lingkungan.

Dengan menjadi legal, para pelaku atau penambang tentu tidak perlu khawatir apalagi takut diburu aparat karena dugaan pelanggaran hukum. Dengan menjadi lapangan usaha/pekerjaan yang sah, tambang tradisional (emas dan galian golongan C) juga menjadi salah satu sumber bagi pendapatan asli desa.

Dengan demikian pendirian BUMDes tak lagi cuma soal memenuhi target capaian jumlah sehingga unit usahanya asal ada, modalnya tak berkembang kalau tak merugi atau dikorupsi. BUMDes harusnya mampu menjawab persoalan ekonomi warga di desa. Bukankah itu salah satu tujuannya?

Komentar