Pertolongan di Penghujung 2020

Sawang Lebar/Googlemap

DERU knalpot kuda besi yang kutunggangi tiba-tiba berhenti. Disusul dua lingkaran hitam yang bekejar kencang sedari tadi pun perlahan pelan lalu diam. Tubuh yang menggigil terpaksa turun dan berdiri di kaki sendiri. 

"Astaga! Habis minyak," umpatku entah siapa yang mendengar. Di balut malam pekat, langkahku gontai memapah Honda Blade. 

Tak ada siapa pun di depan mata. Hanya gelap dan sesekali diintip cahaya dari rumah penduduk yang sepertinya sudah bermimpi dalam lelap.

"Jam berapa ini?" entah kepada siapa lagi aku bertanya. 

"Untung ini sudah di tengah desa. Kalau tadi mati di sawangan? Bah, ntah kekmana," batinku menghibur.

Kaki-ku yang sudah kaku kupaksa gagah memapah si kuda besi pabrikan 2010 berkapasitas 110 cc. Kutambah daya ketika jalan mulai menanjak.

Bah, capeknya.

Lantas kucoba engkol. Mana tahu masih ada sisa-sisa pertalite. Tapi hanya sekejap. Hidup sebentar tapi langsung mati itu mesin ketika gas mulai dikencangkan.

Kuengkol lagi. Hidup...

Kali ini sengaja tak kutunggangi. Kupapah dengan mesin yang menyalak. Mantap, tebing kulalui dengan deru nafas yang ikut sesak.

Tiba-tiba sorot lampu dari belakangku menerangi badan jalan yang masih basah disiram hujan.

Tak ada satu pun dari tiga dum truk yang sudi menyapa-ku. Mereka lewat saja meski kuyakin melihat ada sosok dibalut mantel hujan tipis berjalan layu bersama sepeda motor yang diam tak menderu.

"Tak apalah," pikirku. "Toh bagaimana juga mereka mau membantu? Nggak mungkin motorku dinaikkan ke atas truk. Atau mereka harus buka tangki BBM-nya lalu diberikan setetes buat membakar mesin motorku."

Lalu tak lama dari arah depan sorot lampu juga memecah malam. "Ini pasti motor," batinku.

Maka sebelum sosok pengendara di hadapan berlalu begitu saja, aku hentikan langkah. Segera kuayun tangan kanan naik turun. Minta dia berhenti.

Si pengendara melirik. Namun laju kuda besinya tak siap segera setop. Sekitar 20 meter dia baru balik. Kulihat ada dua orang rupanya di atas Yamaha Vixion itu.

"Kenapo, pak?" suara laki-laki pengendara menyapa.

Setelah kuberitahu, dia segera memberi tahu di depan sekira 10 meter ada warung yang jual BBM. "Coba gedor saja," sarannya.

Tak mau berlama-lama, kupatuhi sarannya. Aku segera menjauh. Mereka juga kembali memutar ke arah perjalanan semula. 

Sebentar kulirik ke belakang ketika mesin motornya tiba-tiba mati dan agak lama bisa menyalak lagi.

Aku kini berdiri di depan warung yang tadi dimaksud. Sudah tutup pasti. Dalam samar-samar kulihat memang ada wadah atau tempat yang biasa dipakai memajang jerigen-jerigen berisi bensin.

Kudatangi pintu tuan rumah yang lokasinya di sebelah kiri warung. Di depan jendela sebelah pintu, kulepas helem dan penutup kepala. Aku berharap supaya si empunya rumah bisa mengintip siapa tamu di malam kelam. Jangan dikira yang datang bermaksud tidak baik.

Entah sudah berapa kali kupanggil si pemilik warung sembari mengetuk pintu. Tapi tak sekali pun kudengar ada suara dari dalam. Apalagi membalas panggilanku.

Tak sampai 20 menit kuputuskan pergi. Seingatku di lokasi yang kini gelap gulita karena listrik padam ini masih ada warung lain yang biasa memajang BBM. 

Aku memang tak asing dengan tempat ini. Hampir setiap minggu kulalui. Tapi apa nama desanya aku belum tahu. Yang pasti setelah desa ini ke arah Kota Bengkulu adalah Kerkap.

Baru beberapa meter menjauh dari warung yang tak menyahut tadi, sorot lampu motor kembali datang dari depanku. Bahkan kali ini lajunya merapat ke sisi dimana aku memapah Honda-ku.

Kukira ia mau mendekati-ku. Menawarkan pertolongan. Mau membagikan bensin motornya atau meminjamkan motornya supaya aku bisa mencari bensin. 

Ternyata dugaanku meleset. Ia justru masuk ke pekarangan rumah warga. Motornya masih hidup ketika ia membuka pintu rumah itu. Rupanya anak muda itu orang sini.

"Ngapo?" tanya anak muda itu ketika melihatku berhenti di depan rumahnya. "Idak ado lagi warung buka," katanya setelah kubilang masalahku.

Aku masih berharap dia mau memberi bantuan. Tapi motornya dia dorong masuk. Gelagatnya memang tak mau pusing mengurus orang yang tak dikenalnya ini. Pintu segera dia tutup.

Tubuh yang kedinginan kembali kupaksa berjalan mesra bersama di Honda. Lalu samar-samar kudengar suara orang bercakap-cakap. Seperti warga yang sedang duduk di teras rumah. Tapi entah dimana.

"Kenapa pak," tiba-tiba ada suara dari seberang jalan. "Habis bensin," sahutku meski belum melihat dari mana dan siapa yang menyapa.

Orang itu lalu mendekat. Ia kembali mengulang pertanyaanya. Rupanya anak muda. Bahkan masih remaja. "Dorong ke pinggir sana saja, pak," katanya sembari menunjuk arah sana yang dia maksud.

Setelah motor kuparkir, ia lantas menawarkan aku menepi ke teras rumahnya. "Siapa?" suara perempuan dalam bahasa Rejang tiba-tiba menyambar dari pintu yang terbuka.

Sembari menyahut si perempuan yang ternyata ibunya, si anak muda mendorong motor matic-nya ke pinggir jalan. "Sini uangnya biar saya belikan bensin," tawarnya kemudian.

Kurogoh uang Rp 50 ribu. "Belikan dua liter saja," pintaku.

"Gedor warung wak-mu saja," pesan si ibu sebelum si anak muda itu pergi.

Sembari menunggu, si ibu ramah menawarkan tempat duduk. Seolah tak percaya diperlakukan sedemikian istimewa malam itu, kucari tahu siapa anak yang menolongku.

"Namanya Jef. Masih sekolah," kata si ibu. Semula dia bilang di MAN, lalu dia ralat MTs. "Baru kelas satu," katanya.

Tak lama suara obrolan kami membuat terjaga suaminya, ayah si anak muda tadi, terbangun. Dia sudah berdiri di depan pintu tanpa kami sadari. Maklum masih gelap. Hanya lampu kecil yang terangnya kalah sama lilin.

Kami lalu berbincang bertiga. Mereka bertanya dari mana mau kemana. Dari mereka kutahu listrik padam sejak petang. Katanya disengaja supaya orang-orang tak keluyuran. Maklum mau malam tahun baru.

Si Jef belum kunjung kembali ketika hujan kembali menyiram bumi. Deras sekali. Saya lalu merasa tak enak. Jadi merepotkan keluarga ini.

Setelah beberapa lama, Jef pun datang. Aku segera memburunya ke pinggir jalan. Bensin di dalam kantong plastik segera kami tumpahkan ke tangki.

Motor lalu kuengkol. Tak sampai empat kali mesin menyalak. 

"Ngopi dulu biar hangat," tawar si ayah sebelum aku sempat bilang pamit.

"Bah, baik sekali keluarga ini," batinku. Aku tak sampai hati menolak atau pura-pura tak perlu kopi. Belum kuiyakan, si ibu sudah keburu masuk.

Si Jef jongkok di depanku setelah membuka bajunya yang kuyup disergap hujan. Sebatang rokok menyelip di jemarinya. Sesekali ia bermain gawai sembari menghisap itu filter.

Jef bercerita malam itu dia baru saja pulang dari bertandang ke desa tetangga yang warganya menggelar hiburan acara pesta pernikahan.

Rupanya aku tengah berada di Desa Sawang Lebar, Kecamatan Tanjung Agung Palik, Bengkulu Utara. Di sini warganya mayoritas bersuku Rejang Pesisir. Aku mengaku orang Lebong. Sehingga percakapan kami mengalir dalam bahasa Rejang.

"Kalau anak muda tadi yang macet motornya nggak saya tegur. Tapi pas lihat bukan anak muda, makanya saya tolong," kata Jef menjelaskan mengapa sampai mau membantuku.

"Merokok lah. Tapi ini Gandum," tawar si ayah ketika hujan mulai mereda dan kopi hangat belum kuseruput sekalipun.

Tawaran yang menggoda. Tapi aku merasa sudah cukup merepotkan keluarga ini. Godaan sigaret si ayah Jef kutahan saja. Hanya kopi seduhan ibunya yang kuminum.

"Kalau ke Bengkulu mampir," kataku kepada Jef setelah dia bilang beberapa kali ke Kota Bengkulu sekedar jalan-jalan dengan kawan-kawannya.

Kami lalu hanyut dalam diam. Mana hujan, mati lampu, hape pun mati habis battray. Tak tahu waktu. Tak bisa beri kabar ke siapa-siapa tentang situasi dan kondisiku. Komplit sudah.

Ketika listrik menyala lalu padam seketika aku bertanya sudah pukul berapa? Rupanya sudah pagi dini hari. Sudah lewat jam 2.

Aku lalu pamit. Kujabat erat satu per satu keluarga ini sembari mengucapkan terima kasih. "Semoga jadi orang sukses," kataku ke Jef.

===================***========================***=========================

Komentar

Posting Komentar