Selamat Jalang, Abang...

Hari itu suara mamak setengah kaget usai menerima panggilang telepon. Ia seperti shok. Tiba-tiba mengaduh. 

Ternyata ia menerima kabar buruk. Yang mengbari tulang kami, adik kandung laki-laki mamak. Abang kami, Atan Sipayung atau kami biasa sapa Abang Iren, sedang terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit Bhayangkara.

Sejak menerima kabar itu, dua hari berturut-turut mamak dan bapak menghabiskan setengah hari di rumah sakit. Pagi datang ke situ membawa bekal nasi. Baru pulang ke rumah petang hari. 

Selama itu pula, saya tak bisa meluangkan waktu barang sejenak menjenguk. Entah lah. Padahal selama dia di sana, saya beberapa kali melintas kala antar jemput anak-anak sekolah.

Sampai pada Rabu dini hari sekitar pukul 04.00 WIB, mamak menbangunkan tidurku dengan suara panggilan handphone.

"Abangmu sudah meninggal," 

Tak banyak kata yang bisa kuucap. Wajah abang memenuhi benakku. Ingat terakhir kali kami bersua di akhir tahun lalu pada sebuah pesta perkawinan adik sepupu dari garis bapak.

Abang Iren ini sepupuku dari garis mamak. Ibunya yang kami panggil mak tua adalah saudari kandung mamakku yang sulung.

Saya ingat dia pertama kali tinggal bersama keluarga kami setelah menamatkan SMA di kampung di Kabupaten Samosir sana. Ia merantau jauh ke Bengkulu, persisnya ke Muara Aman, Lebong di sekitar tahun 1990 an. Saya masih SD.

Dalam hidupku, yang paling penting dan terwariskan hingga kini dari abang ini adalah tanda tangan. Iya, dia yang pertama kali mengajari bahkan membuatkan tanda tangan untukku saat masih usai SD.

Karyanya itu menempel di izajah SD, SMP dan SMA. Lalu kuvariasikan sedikit setelah lulus sampai kini.

Ketika masih mengasuh kami, abang memang pandai mengukir huruf. Tulisan tangannya indah. Ada sentuhan seni di sana. Huruf bak menari seperti rambutnya yang ikal keriting saat masih gondrong.

Saya lupa persis berapa lama dia bersama kami sebelum akhirnya menikah. Walau sudah membina rumah tangga, Abang Iren masih tinggal di dekat rumah kami. Sampai beberapa waktu kemudian ia berhasil membangun gubuknya sendiri.

Kebersamaannya dengan kami juga berlanjut tak kala kami pindah ke Kota Bengkulu. Walau terpisah beberapa puluh meter, kami masih melalui jalan yang sama menuju rumah masing-masing di Kelurahan Rawa Makmur.

Perjumpaan menjadi amat jarang setelah ia pindah ke wilayah kelurahan tetangga, Pematang Gubernur. Sejak itu saya dan orang tua belum sekalipun mampir. Selain ada persoalan, kesibukan masing-masing membuat intensitas pertemuan kian jarang.

Bahkan setelah kepergianmu, bang, tidak mudah bagi kami melihat pusaramu. Hari itu, dimana aku juga tak bisa datang melayatmu, jasadmu dibawa pulang ke tanah kelahiran di kampung sana, di huta Janjimatogu. 

Selamat jalan abang. Selamat jalan.... 


Komentar

  1. Setahun lebih sejak kepergiannya, Abangku ini hadir di mimpiku. Pada satu rumah, Ia hadir dengan senyum, wajah nan cerah, pakaian bersih dan rapih. Aku hanya menyapanya, Abang.. Lalu aku pergi..

    BalasHapus

Posting Komentar