DALAM percakapan lisan sehari-hari orang awam, jaminan atau agunan sebagai salah
satu lampiran wajib pada proposal pinjaman kredit di bank atau lembaga keuangan
itu biasa diucapkan dengan kata borok. Karena (sudah) ngerti maksudnya, jarang
bahkan mungkin tak pernah kita periksa perihal asal muasal kata borok ini.
Apalagi kata borok juga bisa dipahami atau dibedakan maksudnya saat diucapkan:
bisa merujuk jaminan atau penyakit hingga aib.
Rupanya, kata aslinya adalah
BORG. Sekilas seperti kata yang dicaplok dari negeri Eropa atau Barat pada
umumnya, sebab dari sanalah konsep bank konvensional yang kita kenal hari ini
bermula. Apalagi bagi pecinta sinema Hollywood, kata BORG ini merujuk kepada
satu kelompok atau bangsa dalam cerita fiksi Star Trek yang populer itu.
Jadi,
pertama-tama asumsi kita melayang ke Barat sana. Dan memang, kata BORG sendiri
memang ada juga di SKANDINAVIA, yang artinya benteng. Kata Borg ini juga merujuk
kata borough dalam bahasa Inggris yang artinya juga benteng. Ya, seperti pada
kata Benteng Marlborough di Kota Bengkulu itu.
Tapi kalau seseorang itu
belajarnya di pondok pesantren atau lembaga pendidikan Islam misalnya, tentu tak
asing dengan kata BORG ini. Karena ternyata kata BORG datangnya dari Arab. Ia
diulas dalam perkara hutang piutang. BORG dalam bahasa fiqihnya disebut ar-rahn.
BORG adalah benda yang dijadikan penguat dalam perjanjian hutang piutang itu.
Ya, begitulah perkara kata BORG yang baru saya sadari setelah membaca kisah
Sobron Aidit dalam bukunya yang ditulis bersama seorang jurnalis, Budi
Kurniawan: Melawan dengan Restoran (2007). Buku kedua dari sekian buku yang
pernah saya baca dalam hitungan jam saja saking sedapnya.
Sobron menuliskan kata
BORG dalam menuturkan perjalanan membuka atau tepatnya mendirikan Restaurant
Indonesia, resto pertama Indonesia di Paris, Perancis yang mula-mula dimaksudkan
untuk bertahan hidup orang-orang eksil di Paris, yakni mereka yang tak kembali
ke Tanah Air pasca tragedi G 30 S.
Sobron berkisah, ia dan orang-orang Indonesia
yang "terbuang" dan bertemu di Paris mesti meminjam uang dari kenalan
masing-masing demi bisa menyewa bahkan membeli sebuah tempat demi membuka
restoran itu. Mereka juga terpaksa mengambil "jatah" satu setengah tahun dana
bansos yang disalurkan pemerintah setempat bagi pengangguran di negeri itu,
termasuk mereka yang mula-mula ke situ sebagai pengungsi.
Sebab tak ada BORG
jika mau meminjam modal ke bank, kata Sobron. Desakan agar bisa bertahan hidup
dan demi menjaga harga diri karena merasa malu setiap kali berdiri mengantri
demi uang bansos, Restaurant Indonesia itu akhirnya bisa mereka buka. Restoran
itu tumbuh dan terus eksis dan menjadi tempat tongkrongan berbagai kalangan. Tak
cuma orang Indonesia, tapi juga bule, dan turis dari berbagai negara yang sedang
berwisata ke Paris.
Bahkan pasca tumbangnya Orde Baru Suharto, resto itu menjadi
tempat yang mempertemukan mereka yang semula berbeda pandangan politik. Terutama
pejabat KBRI di sana yang melarang warga Indonesia makan di restoran itu. Tapi
di era Reformasi, banyak yang berubah. Bahkan duta besar Indonesia di Perancis
dan Belanda datang ke resto itu dan menjadi akrab.
Satu tokoh yang bahkan kerap
mampir adalah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Baik sebelum, saat, dan setelah
tak lagi jabat presiden. Begitulah, semakin kita merasa tahu, semakin sadar
banyak hal yang belum kita ketahui. Jangankan soal kehidupan saudara sebangsa di
negeri orang, tetangga di kampung sendiri belum tentu kita kenal kehidupan
sehari-harinya.
Apakah juga perlu 'BORG' untuk peduli itu?
--00--
ditulis sejak Kamis (6/7) malam.
Kelar Sabtu (8/7) siang. Diedit berkali-kali setelah itu😅
Komentar
Posting Komentar