Herwanto dan Asa Sang Maestro

Maestro Djalaluddin (alm)


SEJUMLAH piagam yang dibingkai dan gambar-gambar kenangan ketika ia menerima sejumlah penghargaan masih terpajang di ruang depan rumah semi permanen itu. Kesan bersahabat nan akrab sang istri lalu anaknya yang bungsu menyambut kami petang itu.

Sejak bersua di tahun 2009, ini kali pertama di antara saya datang lagi ke rumah sang maestro seni tradisi asal Lebong ini–setelah kepergiannya menghadap sang khalik. Maestro Djalaluddin meninggal beberapa tahun yang lalu akibat kecelakaan lalu lintas.

Tubuh rentanya ditabrak sepeda motor yang tak melihatnya saat tiba-tiba muncul di tengah jalan saat hendak menyeberang usai mengurus ternak bebek di depan rumah.

“Waktu itu ada mobil yang parkir di pinggir jalan dekat rumah. Jadi pengendara motor tidak melihat bapak yang mau menyeberang. Waktu itu juga ada lobang di badan jalan. Setelah motor mengelak lobang, bapak tiba-tiba muncul dari balik mobil dan tertabrak,” cerita Herwanto.

Herwanto adalah putra Djalaluddin. Ia anak bungsu dari delapan bersaudara dan kini tinggal persis di samping rumah orang tuanya. “Bapak meninggalnya dalam perawatan medis di RSUD M Yunus Bengkulu,” kenang penyandang gelar sarjana komunikasi itu.

Seperti pernah diakui almarhum, Herwanto juga tidak pernah tahu siapa orang atau pihak yang telah mengirim profil dan karya-karya ayahnya sehingga akhirnya diganjar dengan penghargaan dan gelar maestro seni tradisi (folklore) oleh pemerintah pusat.

“Dari dulu bapak memang tidak mau melakukan sesuatu karena cuma mau populer. Tahunya bikin karya itu lah. Kalau karyanya pun diklaim orang dia tidak persoalkan asalkan karya itu tadi berguna. Itu lah sifat bapak,” kenang Herwanto.

Selama hidupnya, sang maestro memang sudah menyumbangkan karya-karya berupa tulisan tentang cerita-cerita rakyat yang hidup di tengah-tengah masyarakat Lebong, khususnya tentang suku Rejang.

Dan salah satu yang paling penting adalah buku ajar Kaganga yang dia susun sebagai pedoman atau buku ajar muatan lokal tahun 1991, awal diajarkannya aksara Rejang itu di sekolah. Djalaluddin sudah bikin dua jilid.

“Bapak mulai membuat tulisan tentang cerita rakyat dan soal Kaganga itu setelah ada peneliti dari luar negeri yang meneliti tentang asal usul dan adat istiadat Suku Rejang. Kalau tidak salah dari Australia,” ujar Herwanto.

Herwanto ingat, upaya menghimpun tulisan itu dilakukan ayahnya dengan mendatangi sejumlah orang di berbagai tempat yang mengetahui cerita-cerita dan seluk beluk adat Rejang. “Saya ingat pernah sampai ke Mukomuko menemui orang-orang tua yang tahu cerita rakyat Rejang,” imbuhnya.

Semua hasil penggalian tadi lalu disusun Djalaluddin dalam sebuah buku. Tapi jangan membayangkan itu buku seperti buku bacaan yang dipajang di toko-toko buku, lengkap dengan cover apik, nama penulis, dan penerbit.

Buku yang dimaksud ternyata hanya buku tulis biasa. Buku bergaris yang sering dipakai anak sekolah dasar. Jadi masih dalam rupa tulis tangan ala orang dulu: tulis sambung agak miring. Naik level dikit ada karya yang disalin dengan mesin tik di kertas HVS.

Asa Djalaluddin

Setelah menamatkan sekolah menengah, Herwanto ingat betul permintaan sang ayah agar ia menempuh studi di perguruan tinggi yang kelak bisa menyelamatkan karya-karya sang maestro. Jadilah ia studi di jurusan komunikasi.

“BAPAK MAUNYA NANTI SETELAH SAYA TAMAT BISA MEMINDAHKAN TULISAN-TULISANNYA KE KOMPUTER. BIKIN KAMUS BAHASA REJANG. MAKANYA SAYA DIMINTA AMBIL JURUSAN YANG DIA ANGGAP ADA HUBUNGANNYA DENGAN KARYA-KARYANYA,” KATA WANTO–SAPAAN HERWANTO.

Namun asa sang ayah tidak langsung dia tunaikan. Masa muda penuh gairah membuat Wanto lebih meminati bidang lain meski masih ada kaitnya dengan seni budaya. Wanto lebih banyak berkecimpung di tari dan musik. 

“Nah, yang menulis seperti bapak itulah yang tidak saya tekuni,” ucap Wanto bernada penyesalan.

Sejak kembali ke Lebong pada 2010 dan setelah kepergian sang ayah, karya-karya sang maestro dalam rupa tulis tangan, catatan, dan dokumen-dokumen penting lainnya, hingga kini belum tersusun dengan rapi. Wanto bahkan kesulitan ketika mencari buku-buku tulis berisi goresan tangan sang ayah ketika kami minta.

Termasuk sejumlah buku catatan yang dipinjamkan, hingga kini juga belum kembali. Karya dan dokumen Djalaluddin seperti cerita rakyat, puisi, naskah drama, artikel seminar budaya, dan lainnya, kini hanya tersimpan di rumah. Sebagian yang bisa dilihat sudah lusuh dan sobek dimakan rayap atau digigit tikus.

Wanto berharap karya dan dokumen itu bisa dibukukan sehingga bisa terus dilestarikan sebagaimana ayahnya yang sudah telaten menghimpun, menulis, dan membagikannya dengan siapa saja yang bertanya dan meminta.

“Kalau ada pihak yang sudi membantu, saya tentu sangat menghargai. Bukan untuk apa-apa. Itu semua untuk melanjutkan misi bapak melestarikan literasi dan seni tradisi,” tandas Wanto.

_____________________________

(wawancara bersama Aka Budiman dan Sumitra Naibaho di suatu malam. Artikel ini sudah lebih dulu terbit di portal media online Sahabat Rakyat https://bengkulu.sahabatrakyat.com/ragam/djalaluddin-sang-maestro-seni-tradisi-dan-asa-yang-belum-tunai/)


Komentar