Suasana mengantri BBM di salah satu SPBU di Kota Bengkulu.[dok pribadi] |
SULIT bagi saya menerima kondisi SPBU-SPBU di Bengkulu yang setiap hari kehabisan stok. Sehingga setiap kali akan mengisi BBM jenis pertalite, saya selalu harap-harap cemas. Bakal kebagian atau tidak.
Bukan sekali dua kali. Saya bahkan lebih sering menemukan SPBU yang kehabisan pasokan saat mau isi BBM. Terutama untuk kendaraan roda empat saya jenis Kijang LGX dengan cc 1,8. Padahal saya jarang mau isi full. Paling sering isi cuma Rp100-150 ribu atau 10-15 liter. Dalam satu minggu, saya paling mengisi BBM sebanyak 2-3 kali saja.
Sekali peristiwa, saya sudah masuk barisan antrian di salah satu SPBU di Kota Bengkulu. Kalau orang banyak bilangnya SPBU KM 8. Begitu ada di antrian, saya hitung ada 8 mobil yang sudah di depan dan masih banyak lagi yang antri di belakang. Waktu itu sudah pukul 21.30.
Dari jarak sekitar 15 meter, saya melihat hanya ada seorang petugas operator yang melayani untuk dua barisan kendaraan yang mengantri. Mobil saya kebetulan antri sebelah kanan karena mulut tengki minyaknya di sebelah kiri.
Sembari mengamati, saya juga menghitung waktu yang dihabiskan si operator itu untuk mengisi setiap satu mobil. Ternyata rata-rata 2 menit. Ini sering kali saya lakukan. Dan biasanya saya habiskan setengah jam di antrian sebelum dapat giliran.
Tapi malam itu, saya jengkel sekali. Bagaimana tidak? Saat hanya tersisa tiga mobil di depan, petugas tiba-tiba menghentikan pelayanan. Dia melambai dengan kedua tangannya menyilang. Rupanya itu pertanda pertalite habis.
Bah, sial kali rasanya. Antri sudah lama, minyak mobil sudah kritis, giliran tinggal diisi, malah habis. Saya tak kuasa mengumpat. Segala macam sumpah serapah saya muntahkan saja meski hanya saya sendiri yang mendengarkan.
Malam itu saya akhirnya terpaksa mencari SPBU yang lain dengan perasaan cemas karena lampu indikator minyak di dashboard sudah menyala lebih terang. Sementara target SPBU terdekat yang nempel di memori kepala jaraknya lumayan jauh. Lebih dari 3 kilometer.
Tapi karena tak ada pilihan, saya pilih gas terus. Batin saya, kalau tiba-tiba mogok sebelum tiba di SPBU, ya sudah. Terpaksa beli BBM eceran yang biasa dibanderol Rp 13 ribu per liter. Si Kijang keluaran 2003 pun saya pacu dengan kecepatan rata-rata 50-60 km.
Dewi fortuna masih berpihak. Sekitar lewat pukul 22.15, saya akhirnya bisa tiba di SPBU yang lain. Dan seperti biasa, masuk antrian yang sudah mengular. Saya hitung lagi jumlah mobil yang di depan saya. Ada 9. Jadi saya giliran ke-10. Dan hanya dalam hitungan menit, di barisan belakang mobil saya sudah menyusul yang lain. Ikut barisan antrian satu per satu.
Sedikit trauma dengan pengalaman yang baru saya lalui, giliran sisa lima mobil di depan, perasaan saya mulai gundah. Jangan-jangan kehabisan lagi. Duh, Gusti, masa harus kena mental dua kali, pikir saya.
Tapi kecemasan itu segera sirna. Mobil saya akhirnya kebagian jatah malam itu. Isinya gak juga banyak. Cuma 150 ribu atau 15 liter saja. Hanya sekian detik saya pun berlalu dari situ.
Petugas Cuek
Selain mobil, saya juga sering antri BBM pakai sepeda motor. Kapasitas Honda Fit 110 saya hanya maksimal 4 liter saja. Tapi jarang sekali saya isi penuh. Tergantung isi dompet. Paling sering dua liter atau Rp 20 ribu.
Sekali waktu, saya ingat itu hari Jumat, saya ikut antri pertalite di SPBU. SPBU ini bukan dua SPBU yang saya cerita di atas. Beda lagi. SPBU kali ini adalah yang terdekat jaraknya dengan rumah tinggal saya. Sekitar 2 km.
Saat itu, ada empat barisan kendaraan roda dua yang antri. Saya ikut barisan paling kiri. Saya hitung, ada 7 motor sudah duluan di depan. Jumlah petugas tiga orang. Masing-masing melayani input nomor polisi kendaraan, dua lainnya penerima pembayaran.
Di SPBU ini memang sudah menerapkan self service, yakni konsumen sendiri yang memegang corong dan memasukkannya ke dalam tangki minyak motor setelah operator menginput nomor polisi ke aplikasi yang mereka punya.
Siang itu cuaca panas sekali. Apalagi waktu sudah mendekati pukul 12.00. Setelah tiga pengantri berlalu, tiba-tiba petugas menghentikan layanan. Rupanya sudah saatnya ganti shift.
Tahu memang ganti shift, saya maklumi saja meski badan terasa terpanggang dihujam terik matahari. Apalagi tubuh ini dibungkus jaket tebal.
Beberapa menit berlalu. Tapi pelayanan belum juga dilanjutkan. Saya amati petugas malah asyik bercengkrama satu sama lain. Mereka seolah tak peduli sudah ada puluhan motor dan orang yang menunggu giliran.
Saya melihat yang pada antri mulai gerah. Tapi tak ada yang bersuara walau muka mereka terkesan marah. Hanya mulut yang komat-kamit. Mungkin menahan jengkel.
Tapi saya sudah tidak tahan. Demi melihat petugas pengganti yang tak kunjung stand by ke pos masing-masing, saya akhirnya meneriaki mereka. Saya tunjukkan kekesalan. Dan mereka pun bergegas ke pos masing-masing.
Saya mengalami dua peristiwa di atas hanya dalam kurun waktu kurang dari sepekan. Tapi sebenarnya saya sudah menaruh curiga, apakah iya dalam sehari stok BBM di SPBU itu habis terjual? Sehingga setiap hari pula, Pertamina mengirim pasokan. Ada yang masuk di pagi hari, ada pula yang tiba di malam hari.
Karena penasaran, suatu Ketika saya pun sengaja berselancar di dunia maya. Lewat mesin pencari, saya lihat data jumlah SPBU di Bengkulu. Jumlahnya ada 41. Dan terbanyak ada di wilayah Kota Bengkulu. Sisanya di wilayah kabupaten.
Kalau dikalkulasi, saya yakin jumlah penggunaan BBM per hari orang Bengkulu tidak bakal menyedot habis stok di semua SPBU setiap hari. Saya saja cuma isi BBM mobil dua sampai tiga kali sepekan. Motor bisa 2 kali saja. Itu perjalanan untuk keperluan sehari-hari sudah cukup.
Kalau begitu, saya menduga kuat ada pihak yang bermain curang. Entah bagaimana modusnya, entah siapa saja yang terlibat, tapi saya yakin sekali.
Entah kebetulan atau bagaimana, dugaan saya seolah dijawab beberapa hari kemudian dengan berita penangkapan oknum pengawas SPBU dan pedagang oleh Kepolisian Daerah Bengkulu yang kedatapat curang.
Dua pelaku di Kabupaten Kaur ditangkap polisi saat tengah mengisi BBM bersubsidi ke mobil dengan tangki yang sudah dimodifikasi sedemikian agar bisa menampung lebih banyak BBM.
Dari hasil pemeriksaan, praktik curang oknum pengawas SPBU dan pedagang itu ternyata sudah berlangsung selama dua tahun lebih. Disebut mulai Mei 2023 dan diungkap aparat pada Agustus 2024. Dua pelaku kini mendekam dalam jeruji untuk menjalani proses hukum.
Namun kasus pidana migas di Bengkulu bukan kali pertama. Perkara serupa juga pernah terjadi sebelumnya. Motif mencari keuntungan di saat terjadi antrian panjang dengan modus mengisi BBM secara berulang sudah menjadi pola mainnya.
Praktik ini sebenarnya menjadi salah satu alasan mengapa Pertamina mengharuskan konsumen menggunakan barcode MyPertamina. Dengan adanya sistem ini, Pertamina dapat memastikan bahwa subsidi BBM diterima oleh kendaraan dan pemilik yang benar-benar berhak. Melalui penggunaan barcode ini, masyarakat dapat membeli BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Solar di SPBU Pertamina dengan cara yang lebih mudah dan cepat.
Tapi apa lacur. Yang namanya maling, ada saja caranya agar maksud MyPertamina itu tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Itu lah yang terjadi dalam kasus pidana migas yang diungkap polisi di salah satu SPBU di Kabupaten Kaur tadi. Pelaku ternyata menggunakan lima kode barcode untuk satu unit roda empat yang digunakan untuk mengisi BBM bersubsidi secara berulang.
Jadi, mau secanggih apa pun teknologi dan mesin, jika manusia durjana masih pegang kuasa/kontrol, yang namanya curang dan merugikan khalayak banyak bakal terjadi terus menerus dan berulang-ulang.
Komentar
Posting Komentar